Kamis, 21 Agustus 2014

Baiat dan Imamah ...1)



 A.    Baiat Yang Sah Menurut Syariat
Baiat yang dilakukan kepada seseorang (amir/imam/penguasa) dianggap sah jika (lihat kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Imam Mawardi, hal. 6. Lihat pula kitab Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi,1/28):
1.      Pemimpin terdahulu menentukan penggantinya.
Hal ini sebagaimana Rasulullah telah menyerahkan urusan khilafah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq. Demikian pula Abu Bakr yang telah menyerahkan tampuk khilafah kepada ‘Umar bin Al-Khaththab, Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyerahkan khilafah kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah. 
2.      Ketetapan ahlul halli wal ‘aqdi (pembesar/tokoh masyarakat dan juru hukum)
Dengan cara berkumpulnya ahlul halli wal ‘aqdi, yang terdiri dari kalangan ulama, orang-orang bijak, dan yang berkompeten dalam bidang pemerintahan. Mereka  bermusyawarah untuk menentukan pilihan siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin, seperti yang terjadi pada saat diangkatnya Abu Bakr Ash-Shiddiq. Demikian pula ketika ‘Umar bin Al-Khaththab menyerahkan urusan khilafah kepada enam orang sahabat yang merupakan bagian dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga. Mereka adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan, yang akhirnya mereka sepakat untuk memilih ‘Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah. Demikian pula pengangkatan ‘Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.
Dalam kedua ketetapan tersebut di atas, ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Ahlul halli wal ‘aqdi adalah mereka yang memenuhi tiga persyaratan:
a.       Mempunyai sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik.
b.      Berilmu, yang dengannya dia bisa melihat siapa yang berhak menjadi pemimpin.
c.       Memiliki pandangan dan sifat bijak dalam menetapkan pemimpin.
Mereka yang berkumpul dalam ahlul halli wal ‘aqdi memerhatikan hal-hal berikut:
a.       Orang yang dibaiat harus memenuhi persyaratan secara syar’i untuk diangkat menjadi imam. Syarat-syarat yang berhak menjadi imam adalah:
1)      Memiliki sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik dan bukan pula kafir.
2)      Berilmu yang dengannya ia mampu berijtihad dalam menyelesaikan berbagai problem yang mungkin terjadi.
3)      Sehat pancaindera, penglihatan, pendengaran, lisan, agar dia mampu menjangkau permasalahan yang terjadi.
4)      Anggota tubuhnya selamat dari sesuatu yang mencegahnya bergerak bebas dengan cekatan (sehat jasmani).
5)      Memiliki pandangan yang baik dalam mengurusi kemaslahatan umat.
6)      Keberanian dan ketangguhan untuk melindungi rakyatnya serta berjihad melawan musuh.
7)      Harus berasal dari nasab Quraisy (Hal ini dalam kondisi ahlul halli wal ‘aqdi memilih dan jika orang Quraisy tersebut memenuhi syarat-syarat yang lain. Disamping tentunya memilih jenis laki-laki, karena perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara).
b.      Jika yang memiliki sifat-sifat untuk menjadi seorang pemimpin lebih dari satu, maka hendaknya mereka memilih mana yang lebih memberikan maslahat bagi umat dan lebih layak. Yang terbaik adalah yang memiliki dua sifat ini: amanah dan kekuatan (kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 19-54).
c.       Pengangkatan seseorang menjadi pemimpin harus didukung oleh kekuatan yang dapat mengatur masyarakat, seperti kekuatan militer dan yang semisalnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, “Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibaiat dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Alloh perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Alloh”. (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388). Ini pulalah makna ucapan Umar bin Al-Khaththab:
مَنْ بَايَعَ رَجُلًا مِنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يُتَابَعُ هُوَ وَلَا الَّذِي تَابَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
“Barang siapa membaiat seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin maka ia tidak boleh diikuti, dan tidak pula mengikuti para pendukungnya, karena khawatir mereka akan dibunuh (yang berbaiat dan yang dibaiat).” (HR. Al-Bukhari no. 6442).
Dari sini jelaslah bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian jamaah dan kelompok yang menetapkan baiat kepada para pengikutnya adalah baiat yang batil dan tidak sah. Wajib bagi yang telah melakukannya untuk segera meninggalkannya.
d.      Bukan syarat sahnya baiat adalah kesepakatan seluruh dari kalangan ahlul halli wal ‘aqdi, namun jika telah dibaiat oleh sebagian ahlul halli wal ‘aqdi dan mendapat dukungan kekuatan dari ahli syaukah (yang memiliki kekuatan, seperti kekuatan militer), maka dia menjadi seorang pemimpin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seorang penguasa tidak menjadi penguasa dengan persetujuan satu, dua, atau empat orang, kecuali jika kesepakatan mereka didukung kesepakatan yang lainnya sehingga dia menjadi penguasa. Demikian pula setiap perkara yang membutuhkan dukungan yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan kesepakatan orang yang siap untuk bekerja sama. Oleh karenanya, Ali  dibaiat dan mendapat dukungan kekuatan sehingga beliau menjadi imam” (Minhajus Sunnah, 1/527).
Beliau juga berkata, “Ali dibaiat oleh ahli syaukah (yang memiliki kekuatan), meskipun mereka tidak sepakat atasnya seperti kesepakatan mereka terhadap (khalifah) sebelumnya. Namun tidak diragukan bahwa beliau mempunyai kekuasaan dan kekuatan dengan baiat ahli syaukah terhadapnya. Nash telah menunjukkan bahwa kekhilafahan beliau merupakan khilafah nubuwwah” (Minhajus Sunnah, 4/388).
3.      At-taghallub (kudeta)
Yang dimaksud taghallub adalah ketika sekelompok orang yang memiliki kekuatan melakukan kudeta terhadap pemimpin sebelumnya. Meskipun cara ini haram dilakukan terhadap pemimpin sebelumnya, namun bila mereka berhasil merebut serta menguasai kursi kekuasaan dan mengatur rakyat, maka dia menjadi seorang pemimpin yang sah dan wajib ditaati, meskipun tidak memenuhi persyaratan imamah. Berdasarkan sabda Rasululloh:
وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak.”
Imam Asy-Syinqithi berkata:
أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ .يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ
“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat” (Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi, 1/27).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata menukil dari Ibnu Baththal:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ .خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ

“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat” (Fathul Bari, 13/7).
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan:
الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ
“Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu” (Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239).

B.     Baiat-Baiat Dikalangan Hizbiyyah/Golongan (maaf, seperti di Islam Jamaah/354)
Di antara bidah di dalam Islam adalah apa yang dilakukan sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam, yang terjerumus ke dalam fitnah hizbiyyah (golongan). Mereka menerapkan hadits-hadits tentang baiat, yang seharusnya dipahami sebagai kewajiban taat seorang muslim kepada pemerintahnya, namun diarahkan kepada kelompok mereka masing-masing, yang mewajibkan para pengikutnya untuk berbaiat kepada pemimpin kelompoknya. “Barangsiapa yang tidak berbaiat kepadanya (pemimpin kelompok) maka dia mati jahiliyah”. Lalu dibangun diatas pemahaman ini bahwa yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan kafir dan keluar dari Islam. Sehingga yang tidak berbaiat kepada pimpinan jamaahnya dianggap kafir dan halal darahnya. 
Kemudian, berdasarkan pemikiran ini, diantara mereka ada yang sampai kepada tingkat pemahaman menganggap halalnya mencuri atau merampas harta kaum muslimin dengan keyakinan bahwa harta mereka adalah ghanimah (harta rampasan perang milik orang kafir). Atau enggan shalat di belakang orang yang tidak segolongan di masjid-masjid kaum muslimin karena menganggap bermakmum di belakang orang kafir hukumnya tidak sah. Bahkan sampai pada tingkatan upaya melakukan gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan alasan bahwa pemerintahan mereka telah kafir dan tidak berhukum dengan hukum Alloh, sehingga telah gugur kewajiban taat dan kewajiban berbaiat kepadanya. Sedangkan baiat hanyalah diserahkan kepada pemimpin kelompoknya saja. Dari sinilah cikal-bakal munculnya kaum Khawarij yang memorakporandakan keamanan negeri-negeri muslimin.
Di sisi lain, sebagian baiat diterapkan oleh kelompok-kelompok bid’ah hizbiyyah berorientasi bukan pada pemberontakan terhadap penguasa yang sah dan melakukan tindak kekerasan. Namun lebih fokus kepada sikap kultus individu kepada pemimpin kelompok  dan menaati seluruh ucapannya, serta menganggap bahwa seluruh ucapannya adalah benar dan tidak pernah salah (taklid). Ini seperti keyakinan kelompok-kelompok Shufiyah (Sufi) terhadap pemimpin dan orang yang dianggapnya sebagai wali Alloh.
Namun secara umum, baiat-baiat bid’ah hizbiyyah tersebut telah menanamkan pemahaman akan wajibnya taat kepada pemimpin yang dibaiat dan diharamkan menyelisihi perintah serta aturannya, karena hal itu akan menyebabkan mereka mati dengan cara mati jahiliah. Demikian menurut sangkaan mereka.
Abu Qilabah berkata:
مَا ابْتَدَعَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا اسْتَحَلُّوا السَّيْفَ

“Tidaklah satu kaum melakukan satu bid’ah melainkan mereka akan menghalalkan pedang (yakni menghalalkan darah kaum muslimin)” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalaka’i, no. 247).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar