A.
Baiat Yang Sah Menurut
Syariat
Baiat yang dilakukan kepada seseorang (amir/imam/penguasa)
dianggap sah jika (lihat kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Imam
Mawardi, hal. 6. Lihat pula kitab Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi,1/28):
1.
Pemimpin terdahulu menentukan penggantinya.
Hal ini sebagaimana Rasulullah telah menyerahkan
urusan khilafah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq. Demikian pula Abu Bakr yang telah
menyerahkan tampuk khilafah kepada ‘Umar bin Al-Khaththab, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan yang menyerahkan khilafah kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah.
2.
Ketetapan ahlul halli wal ‘aqdi (pembesar/tokoh
masyarakat dan juru hukum)
Dengan cara berkumpulnya ahlul halli wal
‘aqdi, yang terdiri dari kalangan ulama, orang-orang bijak, dan yang
berkompeten dalam bidang pemerintahan. Mereka bermusyawarah untuk
menentukan pilihan siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin, seperti yang
terjadi pada saat diangkatnya Abu Bakr Ash-Shiddiq. Demikian pula ketika ‘Umar
bin Al-Khaththab menyerahkan urusan khilafah kepada enam orang sahabat yang
merupakan bagian dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga. Mereka adalah
Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’d bin
Abi Waqqash, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan, yang akhirnya mereka
sepakat untuk memilih ‘Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah. Demikian pula pengangkatan
‘Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.
Dalam kedua ketetapan tersebut di atas,
ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi
pemimpin. Ahlul halli wal ‘aqdi adalah mereka yang memenuhi tiga persyaratan:
a.
Mempunyai sifat adil (keshalihan agama), bukan orang
fasik.
b.
Berilmu, yang dengannya dia bisa melihat siapa yang
berhak menjadi pemimpin.
c.
Memiliki pandangan dan sifat bijak dalam menetapkan pemimpin.
Mereka yang berkumpul dalam ahlul halli
wal ‘aqdi memerhatikan hal-hal berikut:
a.
Orang yang dibaiat harus memenuhi persyaratan secara
syar’i untuk diangkat menjadi imam. Syarat-syarat yang berhak menjadi imam adalah:
1)
Memiliki sifat adil (keshalihan agama), bukan orang
fasik dan bukan pula kafir.
2)
Berilmu yang dengannya ia mampu berijtihad dalam menyelesaikan
berbagai problem yang mungkin terjadi.
3)
Sehat pancaindera, penglihatan, pendengaran, lisan,
agar dia mampu menjangkau permasalahan yang terjadi.
4)
Anggota tubuhnya selamat dari sesuatu yang mencegahnya
bergerak bebas dengan cekatan (sehat jasmani).
5)
Memiliki pandangan yang baik dalam mengurusi
kemaslahatan umat.
6)
Keberanian dan ketangguhan untuk melindungi rakyatnya
serta berjihad melawan musuh.
7)
Harus berasal dari nasab Quraisy (Hal ini dalam kondisi
ahlul halli wal ‘aqdi memilih dan jika orang Quraisy tersebut memenuhi
syarat-syarat yang lain. Disamping tentunya memilih jenis laki-laki, karena
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara).
b.
Jika yang memiliki sifat-sifat untuk menjadi seorang
pemimpin lebih dari satu, maka hendaknya mereka memilih mana yang lebih
memberikan maslahat bagi umat dan lebih layak. Yang terbaik adalah yang
memiliki dua sifat ini: amanah dan kekuatan (kitab As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 19-54).
c.
Pengangkatan seseorang menjadi pemimpin harus didukung
oleh kekuatan yang dapat mengatur masyarakat, seperti kekuatan militer dan yang
semisalnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, “Kepemimpinan, menurut
mereka (Ahlus Sunnah), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan.
Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang
dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan
kepemimpinan dapat terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang
dibaiat dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia
menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya berkata para imam salaf: ‘Siapa
yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan
kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Alloh perintahkan taat kepada
mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Alloh”.
(Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula
pada hal. 553, 550, jilid 4/388). Ini pulalah makna ucapan Umar bin
Al-Khaththab:
مَنْ بَايَعَ رَجُلًا مِنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ فَلَا يُتَابَعُ هُوَ وَلَا الَّذِي تَابَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ
يُقْتَلَا
“Barang siapa membaiat seseorang tanpa
musyawarah dari kaum muslimin maka ia tidak boleh diikuti, dan tidak pula
mengikuti para pendukungnya, karena khawatir mereka akan dibunuh (yang berbaiat
dan yang dibaiat).” (HR. Al-Bukhari no. 6442).
Dari sini jelaslah bahwa apa yang
dilakukan oleh sebagian jamaah dan kelompok yang menetapkan baiat kepada para
pengikutnya adalah baiat yang batil
dan tidak sah. Wajib bagi
yang telah melakukannya untuk segera meninggalkannya.
d.
Bukan syarat sahnya baiat adalah kesepakatan seluruh
dari kalangan ahlul halli wal ‘aqdi, namun jika telah dibaiat oleh sebagian
ahlul halli wal ‘aqdi dan mendapat dukungan kekuatan dari ahli syaukah (yang
memiliki kekuatan, seperti kekuatan militer), maka dia menjadi seorang pemimpin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seorang penguasa tidak menjadi penguasa dengan persetujuan satu, dua, atau empat orang, kecuali jika kesepakatan mereka didukung kesepakatan yang lainnya sehingga dia menjadi penguasa. Demikian pula setiap perkara yang membutuhkan dukungan yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan kesepakatan orang yang siap untuk bekerja sama. Oleh karenanya, Ali dibaiat dan mendapat dukungan kekuatan sehingga beliau menjadi imam” (Minhajus Sunnah, 1/527).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seorang penguasa tidak menjadi penguasa dengan persetujuan satu, dua, atau empat orang, kecuali jika kesepakatan mereka didukung kesepakatan yang lainnya sehingga dia menjadi penguasa. Demikian pula setiap perkara yang membutuhkan dukungan yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan kesepakatan orang yang siap untuk bekerja sama. Oleh karenanya, Ali dibaiat dan mendapat dukungan kekuatan sehingga beliau menjadi imam” (Minhajus Sunnah, 1/527).
Beliau juga berkata, “Ali dibaiat oleh
ahli syaukah (yang memiliki kekuatan), meskipun mereka tidak sepakat atasnya
seperti kesepakatan mereka terhadap (khalifah) sebelumnya. Namun tidak
diragukan bahwa beliau mempunyai kekuasaan dan kekuatan dengan baiat ahli
syaukah terhadapnya. Nash telah menunjukkan bahwa kekhilafahan beliau merupakan
khilafah nubuwwah” (Minhajus Sunnah, 4/388).
3.
At-taghallub
(kudeta)
Yang dimaksud taghallub adalah ketika sekelompok orang yang memiliki kekuatan
melakukan kudeta terhadap pemimpin sebelumnya. Meskipun cara ini haram dilakukan
terhadap pemimpin sebelumnya, namun bila mereka berhasil merebut serta
menguasai kursi kekuasaan dan mengatur rakyat, maka dia menjadi seorang
pemimpin yang sah dan wajib ditaati, meskipun tidak memenuhi persyaratan imamah.
Berdasarkan sabda Rasululloh:
وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Meskipun yang memerintah kalian adalah
seorang budak.”
Imam Asy-Syinqithi berkata:
Imam Asy-Syinqithi berkata:
أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ
فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ
.يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ
“Jika seorang budak secara nyata berhasil
menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib
dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah,
selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat” (Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi,
1/27).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata menukil dari
Ibnu Baththal:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ
السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ .خَيْرٌ مِنَ
الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ
الدَّهْمَاءِ
“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat
kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan
bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya,
dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat” (Fathul
Bari, 13/7).
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan:
الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى
أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي
جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ
“Para imam dari setiap madzhab sepakat
bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka
hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu” (Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239).
B.
Baiat-Baiat Dikalangan
Hizbiyyah/Golongan (maaf, seperti di Islam Jamaah/354)
Di antara bidah di dalam Islam adalah apa yang
dilakukan sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam, yang terjerumus ke
dalam fitnah hizbiyyah (golongan). Mereka menerapkan hadits-hadits tentang baiat,
yang seharusnya dipahami sebagai kewajiban taat seorang muslim kepada
pemerintahnya, namun diarahkan kepada kelompok mereka masing-masing, yang
mewajibkan para pengikutnya untuk berbaiat kepada pemimpin kelompoknya. “Barangsiapa
yang tidak berbaiat kepadanya (pemimpin kelompok) maka dia mati jahiliyah”. Lalu dibangun diatas
pemahaman ini bahwa yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam
keadaan kafir dan keluar dari Islam. Sehingga yang
tidak berbaiat kepada pimpinan jamaahnya dianggap kafir dan halal darahnya.
Kemudian, berdasarkan pemikiran ini, diantara
mereka ada yang sampai kepada tingkat pemahaman menganggap halalnya mencuri atau merampas harta kaum muslimin dengan
keyakinan bahwa harta mereka adalah ghanimah (harta rampasan
perang milik orang kafir). Atau enggan
shalat di belakang orang yang tidak segolongan di masjid-masjid kaum
muslimin karena menganggap bermakmum
di belakang orang kafir hukumnya tidak sah. Bahkan sampai pada tingkatan
upaya melakukan gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk menggulingkan
pemerintahan yang sah dengan alasan bahwa pemerintahan mereka telah kafir dan
tidak berhukum dengan hukum Alloh, sehingga telah gugur kewajiban taat dan
kewajiban berbaiat kepadanya. Sedangkan baiat hanyalah diserahkan kepada
pemimpin kelompoknya saja. Dari sinilah cikal-bakal munculnya kaum Khawarij yang memorakporandakan
keamanan negeri-negeri muslimin.
Di sisi lain, sebagian baiat diterapkan
oleh kelompok-kelompok bid’ah hizbiyyah berorientasi bukan pada pemberontakan
terhadap penguasa yang sah dan melakukan tindak kekerasan. Namun lebih fokus
kepada sikap kultus individu kepada pemimpin kelompok dan menaati seluruh ucapannya, serta
menganggap bahwa seluruh ucapannya adalah benar dan tidak pernah salah (taklid). Ini seperti keyakinan
kelompok-kelompok Shufiyah (Sufi) terhadap pemimpin dan orang yang dianggapnya
sebagai wali Alloh.
Namun secara umum, baiat-baiat bid’ah
hizbiyyah tersebut telah menanamkan pemahaman akan wajibnya taat kepada
pemimpin yang dibaiat dan diharamkan menyelisihi perintah serta aturannya,
karena hal itu akan menyebabkan mereka mati dengan cara mati jahiliah. Demikian
menurut sangkaan mereka.
Abu Qilabah berkata:
Abu Qilabah berkata:
مَا
ابْتَدَعَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا اسْتَحَلُّوا السَّيْفَ
“Tidaklah satu kaum melakukan satu bid’ah
melainkan mereka akan menghalalkan pedang (yakni menghalalkan darah kaum
muslimin)” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalaka’i, no. 247).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar