Manqul (baca:
mangkul) menurut Islam Jamaah/354 adalah proses pemindahan ilmu dari guru ke
murid. Islam Jamaah/354 meyakini bahwa ilmu yang tidak mangkul adalah tidak
sah, bahkan, Islamnya juga tidak sah. Mari kita diskusikan “mangkul” menurut timbangan
syariat disertai penjelasan para ulama kibar.
Kaidah “Mangkul” tidak
dikenal oleh para ulama sehingga hal ini merupakan bid’ah dan kesalahan yang
besar dan mengherankan.
Jika yang dimaksud manqul itu memiliki guru yang
punya sanad (ijazah) dan mendapatkan kitab dengan sema’an (talaqi-an), yang
demikian memang telah menjadi kebiasaan para muhadits. Tetapi tidak ada
pemahaman diantara mereka bahwa barang siapa tidak mangkul maka ilmunya tidak sah, amalannya jadi tidak sah, shalat,
puasanya, zakatnya, hajinya, bahkan syahadatnya jadi tidak sah, hingga Islamnya
pun tidak sah.
Dalilnya adalah
sabda Nabi shollallahu’alaihi wasallam:
ألا إن أعجب الخلق إلي إيمانا لقوم يكونون من بعدكم يجدون صحفا فيها
كتاب يؤمنون بما فيها
"Orang-orang
yang ajaib imannya adalah orang-orang yang datang setelah kalian, mereka
mendapatkan lembaran-lembaran Kitab lalu mereka beriman dengan apa yang di
dalamnya".
Diriwayatkan juga
oleh Al-Khatib dalam Syaraf Ashabul Hadits (1/68) no. 55 dan lainnya yang
dengan mengumpulkan semua jalannya cukup lah jika dikatakan hadits-hadits ini
hasan lighirihi dan menjadi hujjah, dan banyak ahli hadits yang menguatkannya
karena banyaknya jalan.
Pada hadits ini
Nabi shollallohu’alaihi wasalam masih memanggil mereka orang-orang yang
beriman, bahkan takjub dengan keimanan mereka, walaupun mereka hanya
mendapatkan kitab, tidak ada guru yang mengajarkan ad-din kepadanya.
Dalam hal
periwayatan, pemahaman bid’ah di atas menyelisihi para muhaddits (Ahli Hadits).
Dalam Kitab Mustholah Hadits, para muhaddits mensahkan 8 jalan mendapatkan
hadits (thariqatu tahmulil
hadits),
semuanya diakui, diantaranya adalah:
1.
Sama’
Sama’ artinya mendengar, maksudnya adalah
rowi mendengarkan. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang ia terima si
rowi menggunakan shigat-shigtat seperti sami’tu, sami’na atau hadasana,
qolalii, dan lain sebagainya.
2.
Ardh
Ardl, artinya membaca dengan hafalan, sang
rowi membacakan hadits kepada seorang ulama biasanya menggunakan shigat
ahbaroni, dan lain sebagainya.
3.
Ijazah
Ijazah, artinya seorang syaikh mengijikan
tilmidz (rowi) nya meriwayatkan hadits melalui idzin nya dengan ucapan maupun
tulisan. Shigatnya biasanya syafahani dan lain sebagainya.
4.
Munawalah
Munawalah, artinya seorang syaikh
menyerahkan kitabnya kepada tilmidz (rowi) nya.
5.
Mukatabah
Mukatabah atau surat-menyurat, seorang
syekh yang memiliki riwayat hadits, menulis sendiri atau menyuruh orang
lain menulis riwayatnya kepada orang-orang. Biasanya waktu menyempaikan hadits
yang didapati dengan perantaraan mukatabah berkata kepada orang yang ia
sampaikannya kasaba ilayya fulanun.
6.
I’lam
I’lam artinya memberitahu, seorang syaikh
memberitahu kepada seorang rawi bahwa hadits ini atau kitab ini riwayatnya,
dengan tidka disertakan izin untuk meriwayatkan kembali. Biasanya menggunakan
shigat a’lamani fulan.
7.
Washiyat
Washiyat, artinya memberi pesan atau
mewasiati.
8.
Wijadah
Wijadah artinya mendapat, yaitu “seorang rowi
mendapat hadits atau kitab dengan tulisan orang yang meriwayatkannya. Sedang
hadits-hadits ini tidak pernah si rowi mendengar atau menerima dari yang
menulisnya. Biasanya menggunakan shigat wajadtu bikhati fulan. Wijadah bisa
juga diartikan dengan membaca sendiri kitab. Lihat dalam Bai’ts Al-Hatsits, karya Al-Hafizh Ibn Katsir
(pengarang kitab tafsir) dengan catatan kaki Al-Muhadits Ahmad Syakir, diberi
kata pengantar oleh Syaikh Abdurrazaq Hamzah menantu Syaikh Abdul Dhahir Abu
Samah, guru pendiri jama’ah anda (jokam) sendiri.
Dan hal tersebut
diperbolehkan apalagi dimasa-masa terakhir ini, sebagaimana yang dikatakan oleh
imamnya ilmu hadits, yaitu Ibn Sholah (w. 643 H) rahimahullahu:
…فإنه
لو توقف العمل فيها على الرواية لانسدَّ باب العمل بالمنقول،
لتعذر شرط الرواية فيها
"…karena
seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah
pintu pengamalan hadits yang dinukil (yang dimangkul) karena tidak mungkin
terpenuhinya syarat periwayatan padanya" (Ulumul Hadits hal. 87).
Dalam Kutubussittah sendiri
terdapat pula riwayat yang tidak mangkul seperti yang dikutip dari Abu Dawud
(1/289) no. 1108:
حدثنا علي بن عبد الله حدثنا معاذ بن هشام قال وجدت في كتاب أبي
بخط يده ولم أسمعه منه قال قتادة عن يحيى بن مالك عن سمرة بن جندب…
“Menceritakan
kepada kami Ali Ibn Abdullah, menceritakan kepada kami Mu’adz ibn Hisyam,
beliau berkata, “Aku menemukan dalam kitab bapakku dengan tulisan tangannya
dan aku tidak mendengar hadits ini dari beliau”. Beliau berkata: Qatadah
dari Yahya ibn Malik dari Samurah ibn Jundub…(dan seterusnya sampai akhir
hadits).
Dan hadits di atas dinyatakan
shahih oleh ulama ahli hadits.
Hal yang
menyesatkan atas kaidah mangkul adalah tidak mau berguru kepada orang yang dianggap ‘tidak mangkul’
bukan golongannya.
Ini juga sebuah kekakuan yang membinasakan. Sebab,
pemahaman tentang kitabulloh dan sunnah adalah apa yang diberikan Alloh kepada
seseorang, bukan secara mutlak karena mendengar langsung dari guru atau
dijelaskan oleh seseorang.
Rosulullah shollallohu’alaihi
wasallam bersabda:
إنما العلم بالتعلم
“Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh)
dengan cara belajar” (Lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 342).
Tetapi belajar yang dimaksud
beragam caranya, tidak harus dengan mangkul. Al hasil, orang Jamaah tidak
mau membaca atau menelaah buku-buku sunnah, fatwa-fatwa ulama, kitab-kitab
hadits dan al-Qur’an sekalipun, walaupun telah jelas bahwa hal tersebut berasal
dari syaikh-syaikh ahlu sunnah, dengan alasan belum ‘mangkul’, akibatnya tidak
bisa mendapatkan ilmu lebih banyak.
Padahal
Kitabulloh telah menjadi hujjah, walaupun seseorang hanya mendapatkannya lewat
membaca.
وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ
"Dan
diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan
siapa saja yang Al-Qur’an sampai padanya" [Qs. Al An'am:19].
Sahabat Ibnu
Abbas radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat ini berkata:
من بلغه هذا القرآن، فهو له نذير ]من
الناس["
"Dan siapa
saja yang sampai kepadanya Al-Qur’an ini, maka Al-Qur’an sebagai pemberi
peringatan baginya [seperti dari manusia]".
Oleh sebab itu kaum salaf
(Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) telah menempuh berbagai cara untuk
mendapatkan ilmu, seperti dibawah ini, dan ini bukan batasan melainkan tambahan
dari apa yang jarang disebutkan:
1. Diskusi
Sebagaimana
Anas ibn Malik berkata:
“Suatu
ketika kami duduk bersama Nabi shollallahu’alaihi wasallam jumlah kami kurang
lebih 60 orang. Nabi sholallohu’alaihi wasallam menyampaikan haditsnya kepada
kami. Setelah itu beliau pergi untuk suatu keperluan. Kami mendiskusikan
kembali masalah yang beliau sampaikan tadi, sampai hal itu mantap seperti
tertanam didalam hati kami”. [al-Imla 142, Al-Azhami hal 445].
2. Meminjam Kitab
Sebagaimana
Humaid ibn At-Tawil yang meminjam kitab Hasan Al-Bashri setelah disalin lalu
kitab itu dikembalikannya. (Al-Ilal 1/15, Al-Kifayah 236, Al-Azhami hal. 494).
3. Membeli Kitab
Sebagaimana
kata ad-Dauruqi bahwa ada dua orang yang singgah di keluarga Abu Ubaidah
Al-Asyja’i, membeli kitab-kitabnya dan berbincang-bincang. (Tarikh Baghdad 6/194,
Al-Azhami hal. 497).
4. Saling berkirim surat/buku
Sebagaimana
Rasulullah Sholallohu 'alaihi wasallam menulis surat
kepada Kisra, Qaishar, Najasyi, dan kepada yang lainnya dalam riwayat Bukhari
dan Muslim. Demikian pula Aisyah radhiyallahu’anha menulis surat kepada Hisyam
bin Urwah berisi tentang shalat. (al-Kifayah 343).
5. Membaca Kitab di
Perpustakaan
Abdul Malik bin Habib atau Abu Imran al-Jauni beliau adalah
seorang Tabi'in yang Tsiqoh, mengatakan:
كنا نسمع بالصحيفة فيها
علم فننتابها كما ينتاب الرجل الفقيه حتى قدم علينا ههنا آل الزبير ومعهم قوم
فقهاء
"Kami dulu mendengar tentang adanya sebuah lembaran yang
terdapat padanya ilmu, maka kamipun silih berganti mendatanginya, bagaikan kami
mendatangi seorang ahli fiqih. Sampai kemudian keluarga az-Zubair datang kepada
kami disini dan bersama mereka orang-orang faqih". (Al-Kifayah 355, Fathul
Mughits 3/27).
Lalu kenapa kita
harus membatasi diri kita dengan hal-hal yang Alloh dan Rosul-Nya tidak pernah
membatasinya??? Penghinaan
tanpa sadar atas kitab-kitab ulama dan muhaddits ahlus sunnah tanpa ilmu,
dengan istilah ‘kitab karangan’ (dalam arti negatif), bahkan adakalanya
sebagian mereka menghina kitab-kitab itu tanpa pernah tahu isi dan siapa
pengarangnya.
Padahal Bukhari
sendiri mengarang kitab Tarikh (Sejarah) Al-Kabir dan Ash-Shaghir. Tirmidzi dan
Ad-Daruquthni mengarang kitab Al-Ilal. Bahkan yang dianggap kakek guru kita
yaitu Syaikh Abdul
Dhohir Abu Samah (guru Mbah Nurhasan) mengarang kitab, seperti Hayatul Qulub Bi Du’a ‘Alamul
Ghuyub, Al-Aulia wal Karamat, dan ar-Risalah Al-Makiyah.
Syaikh Syaikh Abdul
Dhohir Abu Samah (guru Mbah Nurhasan, pendiri Islam Jamaah/354) rohimahullahu dalam bukunya
itu membantah tulisan orang yang masih keluarganya sendiri karena dianggap
menyelisihi manhaj salaf. Yang sekarang kalau kita sodorkan kepada Islam Jamaah/354 yang memegang kuat ilmu mangkul,
serta merta akan berkata, “Wah ini kitab karangan !!!”. Seolah-olah yang disodorkan
ini adalah kitab-kitab dusta karangan para pendusta. Menganggap amalan selain
kelompoknya tidak akan diterima dengan alasan tidak mangkul, walaupun
kenyataannya masih banyak orang-orang selain kelompoknya yang menerapkan metode
semacam mangkul (sema’an, talaqian, dan lain-lain).
Diantara dalil
yang digunakan adalah:
من قال فى كتاب الله عز وجل برأيه فأصاب فقد أخطأ
“Barangsiapa
berbicara tentang Kitabullah (Al-Quran) Azza wa Jalla dengan ra’yi
(pendapat-nya sendiri), walaupun benar maka sungguh-sungguh (hukumnya) tetap
salah”.
Syeikh Al-Muhadits al-Albani mencantumkannya dalam Dha’if Sunan Abu Dawud
dan mendha’ifkannya hadits di atas. Juga dalam komentar beliau terhadap kitab
Misykatul Mashabih no. 235 karya Al-Khatib At-Tabrizi. Berkata al-Baihaqi:
“Pada hadits ini ada kritikan”, Seperti disebutkan Muhammad Syamsul Haq
Al-Azhim Abadi dalam 'Aunul Ma'bud Syarah Abu Dawud (10/85), yakni dha’if.
Atau hadits
dengan lafazh lain:
من قال فى القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa
berbicara tentang Al-Quran tanpa ilmu maka hendaknya menempati tempat duduknya
di neraka”.
Hadits ini pun dha’if baik secara marfu maupun secara mauquf, disebutkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Adh Dha’ifah (4/265) no. 1783
secara panjang lebar dan membantah yang menshahihkannya.
Menurut Islam
Jamaah/354, arti ra’yi dan tanpa ilmu maksudnya adalah tanpa
mangkul. Sehingga walaupun benar jika tidak mangkul maka tetap salah.
Tentu ini
penyimpangan sangat jauh dari makna sebenarnya. Dua hadits itu dha’if, andai kata
shahih pun tidak ada hujjah buat mereka. Ra’yi yang dimaksud adalah ra’yi yang
tercela (tanpa dalil). Adapun ra’yi yang berdasarkan dalil, maka setiap ulama
pun menggunakannya, bagaimana mungkin seorang manusia tidak menggunakan
akalnya? Hanya saja akal harus disesuaikan dengan nash.
Nabi shollallahu’alaihi
wasallam bersabda:
نضر الله امرأ سمع منا حديثا فحفظه حتى يبلغه غيره فرب حامل فقه إلى
من هو أفقه منه ورب حامل فقه ليس بفقيه
“Semoga Allah Ta’ala memberi cahaya kepada seseorang yang
mendengar sebuah hadits dari kami, lalu ia menghafalkan dan menyampaikannya
kepada orang lain. Mungkin saja orang yang membawa ilmu itu bukan orang yang
memahaminya. Mungkin juga orang yang membawa ilmu itu menyampaikannya kepada
yang lebih paham darinya”.
Hadits ini shahih
lagi dari banyak jalan kepada banyak sahabat, diantaranya dari Zaid ibn Tsabit
radhiyallahu’anhu oleh Tirmidzi (5/33) no. 2656, Abu Dawud (3/322) no. 3660,
Ibn Majah (1/84) no. 230 dan Nasai (3/431) no. 5847.
Kalau menurut
ilmu mangkul, hadits di atas tidak mungkin terjadi, bukankah orang yang
memaham-mahamkan sendiri, mengira-ngira sendiri suatu dalil (Al-Qur’an dan
Hadits), menurut ilmu mangkul pasti sesatnya, kalau benar pun tidak akan diterima,
bahkan Islam Jamaah/354 mengatakan (maaf) tae* bonjr*t.
Sedangkan para ulama salaf kita yang arif lagi bijaksana, yaitu Imam
An-Naisaburi rahimahullahu berkata: "Tidak boleh hadits ini dimaksudkan
bahwa; ”Jangan sampai seorangpun mengatakan pada Al-Quran kecuali apa yang ia
dengar". Karena para Sahabat telah menafsirkan Al-Quran dan mereka
berselisih pendapat pada beberapa masalah dan tidaklah semua yang mereka
katakan itu mereka dengar dari Rasulullah shallalahu’alaihi wasalam”. (Mir'atul
Mafatih Syarh Misykatul Mashabih (1/330)).
Jika kemudian mereka mau membaca -tanpa mangkul-, tetap mereka tidak mau
mengamalkannya walaupun amalan itu diketahui shahih dan terdapat dalam
kitab-kitab hadits, dengan alasan ’belum mangkul’.
Padahal
Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam telah memperingatkan bagaimana kesudahan
orang-orang yang tidak mau mengamalkan kitab-kitab bermanfaat yang dibacanya.
Yakni ketika seseorang ditanya oleh para malaikat di alam kubur:
فيقولان له: من ربك ؟ ) فيقول هاه هاه لا أدري ،
فيقول له: ما دينك؟ فيقول: هاه هاه لا أدري)، فيقولن: فما تقول في هذا الرجل الذي بعث فيكم) فلا
يهتدي لاسمه، فيقال: محمد! فيقول) هاه هاه لا أدري (سمعت الناس يقولون ذاك! قال:
فيقال: لا دريت)، (ولا تلوت)، فينادي مناد من السماء أن كذب فافرشوا له من النار
وافتحوا له بابا إلى النار
”Siapa
Rabb mu?”. (Maka ia menjawab: ”Hah hah, saya tidak tahu”. Keduanya bertanya
lagi: ”Apa agamamu?”. Ia menjawab : ”Hah hah saya tidak tahu”). Lalu keduanya
bertanya lagi: ”Apa perkataan mu tentang orang yang diutus Allah kepada kalian
itu?”. (Ia tidak tahu namanya. Lalu dikatakan kepadanya: ’Muhammad !”. Maka ia
menjawab:) ”Hah hah saya tidak tahu (saya mendengar orang mengatakan begitu”.
Lalu dikatakan kepadanya: ”Engkau tidak tahu?) (Dan tidak membaca?!”).
Maka penyeru yang menyeru dari langit dengan mengatakan : ”Ia dusta. Maka
bentangkanlah permadani dari neraka dan bukakanlah untuknya pintu ke neraka”.
[Takhrij hadits ini dikeluarkan oleh Al-Albani secara lengkap dalam Ahkam
Al-Janaiz hal 159, silahkan rujuki].
Jadi, tidak ada alasan bagi Islam Jamaah/354 untuk
mengatakan: ”Saya tidak akan mengamalkannya, karena saya belum mangkul”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar