Kamis, 21 Agustus 2014

Manqul



Manqul (baca: mangkul) menurut Islam Jamaah/354 adalah proses pemindahan ilmu dari guru ke murid. Islam Jamaah/354 meyakini bahwa ilmu yang tidak mangkul adalah tidak sah, bahkan, Islamnya juga tidak sah. Mari kita diskusikan “mangkul” menurut timbangan syariat disertai penjelasan para ulama kibar.
Kaidah “Mangkul” tidak dikenal oleh para ulama sehingga hal ini merupakan bid’ah dan kesalahan yang besar dan mengherankan. Jika yang dimaksud manqul itu memiliki guru yang punya sanad (ijazah) dan mendapatkan kitab dengan sema’an (talaqi-an), yang demikian memang telah menjadi kebiasaan para muhadits. Tetapi tidak ada pemahaman diantara mereka bahwa barang siapa tidak mangkul maka ilmunya tidak sah, amalannya jadi tidak sah, shalat, puasanya, zakatnya, hajinya, bahkan syahadatnya jadi tidak sah, hingga Islamnya pun tidak sah.
Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu’alaihi wasallam:
ألا إن أعجب الخلق إلي إيمانا لقوم يكونون من بعدكم يجدون صحفا فيها كتاب يؤمنون بما فيها
"Orang-orang yang ajaib imannya adalah orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran Kitab lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya".
Diriwayatkan juga oleh Al-Khatib dalam Syaraf Ashabul Hadits (1/68) no. 55 dan lainnya yang dengan mengumpulkan semua jalannya cukup lah jika dikatakan hadits-hadits ini hasan lighirihi dan menjadi hujjah, dan banyak ahli hadits yang menguatkannya karena banyaknya jalan.
Pada hadits ini Nabi shollallohu’alaihi wasalam masih memanggil mereka orang-orang yang beriman, bahkan takjub dengan keimanan mereka, walaupun mereka hanya mendapatkan kitab, tidak ada guru yang mengajarkan ad-din kepadanya.
Dalam hal periwayatan, pemahaman bid’ah di atas menyelisihi para muhaddits (Ahli Hadits). Dalam Kitab Mustholah Hadits, para muhaddits mensahkan 8 jalan mendapatkan hadits (thariqatu tahmulil  hadits), semuanya diakui, diantaranya adalah:
1.      Sama’
Sama’ artinya mendengar, maksudnya adalah rowi mendengarkan. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang ia terima si rowi menggunakan shigat-shigtat seperti sami’tu, sami’na atau hadasana, qolalii, dan lain sebagainya.
2.      Ardh
Ardl, artinya membaca dengan hafalan, sang rowi membacakan hadits kepada seorang ulama biasanya menggunakan shigat ahbaroni, dan lain sebagainya.
3.      Ijazah
Ijazah, artinya seorang syaikh mengijikan tilmidz (rowi) nya meriwayatkan hadits melalui idzin nya dengan ucapan maupun tulisan. Shigatnya biasanya syafahani dan lain sebagainya.
4.      Munawalah
Munawalah, artinya seorang syaikh menyerahkan kitabnya kepada tilmidz (rowi) nya.
5.      Mukatabah
Mukatabah atau surat-menyurat, seorang syekh yang memiliki riwayat hadits,  menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang-orang. Biasanya waktu menyempaikan hadits yang didapati dengan perantaraan mukatabah berkata kepada orang yang ia sampaikannya kasaba ilayya fulanun.
6.      I’lam
I’lam artinya memberitahu, seorang syaikh memberitahu kepada seorang rawi bahwa hadits ini atau kitab ini riwayatnya, dengan tidka disertakan izin untuk meriwayatkan kembali. Biasanya menggunakan shigat a’lamani fulan.
7.      Washiyat
Washiyat, artinya memberi pesan atau mewasiati.
8.      Wijadah
Wijadah artinya mendapat, yaitu “seorang rowi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan orang yang meriwayatkannya. Sedang hadits-hadits ini tidak pernah si rowi mendengar atau menerima dari yang menulisnya. Biasanya menggunakan shigat wajadtu bikhati fulan. Wijadah bisa juga diartikan dengan membaca sendiri kitab. Lihat dalam Bai’ts Al-Hatsits, karya Al-Hafizh Ibn Katsir (pengarang kitab tafsir) dengan catatan kaki Al-Muhadits Ahmad Syakir, diberi kata pengantar oleh Syaikh Abdurrazaq Hamzah menantu Syaikh Abdul Dhahir Abu Samah, guru pendiri jama’ah anda (jokam) sendiri.
Dan hal tersebut diperbolehkan apalagi dimasa-masa terakhir ini, sebagaimana yang dikatakan oleh imamnya ilmu hadits, yaitu Ibn Sholah (w. 643 H) rahimahullahu:
فإنه لو توقف العمل فيها على الرواية لانسدَّ باب العمل بالمنقول، لتعذر شرط الرواية فيها
"…karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (yang dimangkul) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya" (Ulumul Hadits hal. 87).
Dalam Kutubussittah sendiri terdapat pula riwayat yang tidak mangkul seperti yang dikutip dari Abu Dawud (1/289) no. 1108:
حدثنا علي بن عبد الله حدثنا معاذ بن هشام قال وجدت في كتاب أبي بخط يده ولم أسمعه منه قال قتادة عن يحيى بن مالك عن سمرة بن جندب
“Menceritakan kepada kami Ali Ibn Abdullah, menceritakan kepada kami Mu’adz ibn Hisyam, beliau berkata, “Aku menemukan dalam kitab bapakku dengan tulisan tangannya dan aku tidak mendengar hadits ini dari beliau”. Beliau berkata: Qatadah dari Yahya ibn Malik dari Samurah ibn Jundub…(dan seterusnya sampai akhir hadits).
Dan hadits di atas dinyatakan shahih oleh ulama ahli hadits.
Hal yang menyesatkan atas kaidah mangkul adalah tidak mau berguru kepada orang yang dianggap ‘tidak mangkul’ bukan golongannya. Ini juga sebuah kekakuan yang membinasakan. Sebab, pemahaman tentang kitabulloh dan sunnah adalah apa yang diberikan Alloh kepada seseorang, bukan secara mutlak karena mendengar langsung dari guru atau dijelaskan oleh seseorang.
Rosulullah shollallohu’alaihi wasallam bersabda:
إنما العلم بالتعلم
Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar” (Lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 342).
Tetapi belajar yang dimaksud beragam caranya, tidak harus dengan mangkul. Al hasil, orang Jamaah tidak mau membaca atau menelaah buku-buku sunnah, fatwa-fatwa ulama, kitab-kitab hadits dan al-Qur’an sekalipun, walaupun telah jelas bahwa hal tersebut berasal dari syaikh-syaikh ahlu sunnah, dengan alasan belum ‘mangkul’, akibatnya tidak bisa mendapatkan ilmu lebih banyak.
Padahal Kitabulloh telah menjadi hujjah, walaupun seseorang hanya mendapatkannya lewat membaca.
وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ
"Dan diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan siapa saja yang Al-Qur’an sampai padanya" [Qs. Al An'am:19].
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat ini berkata:
من بلغه هذا القرآن، فهو له نذير ]من الناس["
"Dan siapa saja yang sampai kepadanya Al-Qur’an ini, maka Al-Qur’an sebagai pemberi peringatan baginya [seperti dari manusia]".
Oleh sebab itu kaum salaf (Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) telah menempuh berbagai cara untuk mendapatkan ilmu, seperti dibawah ini, dan ini bukan batasan melainkan tambahan dari apa yang jarang disebutkan:
1.      Diskusi
Sebagaimana Anas ibn Malik berkata:
“Suatu ketika kami duduk bersama Nabi shollallahu’alaihi wasallam jumlah kami kurang lebih 60 orang. Nabi sholallohu’alaihi wasallam menyampaikan haditsnya kepada kami. Setelah itu beliau pergi untuk suatu keperluan. Kami mendiskusikan kembali masalah yang beliau sampaikan tadi, sampai hal itu mantap seperti tertanam didalam hati kami”. [al-Imla 142, Al-Azhami hal 445].
2.      Meminjam Kitab
Sebagaimana Humaid ibn At-Tawil yang meminjam kitab Hasan Al-Bashri setelah disalin lalu kitab itu dikembalikannya. (Al-Ilal 1/15, Al-Kifayah 236, Al-Azhami hal. 494).


3.      Membeli Kitab
Sebagaimana kata ad-Dauruqi bahwa ada dua orang yang singgah di keluarga Abu Ubaidah Al-Asyja’i, membeli kitab-kitabnya dan berbincang-bincang. (Tarikh Baghdad 6/194, Al-Azhami hal. 497).
4.      Saling berkirim surat/buku
Sebagaimana Rasulullah Sholallohu 'alaihi wasallam menulis surat kepada Kisra, Qaishar, Najasyi, dan kepada yang lainnya dalam riwayat Bukhari dan Muslim. Demikian pula Aisyah radhiyallahu’anha menulis surat kepada Hisyam bin Urwah berisi tentang shalat. (al-Kifayah 343).
5.      Membaca Kitab di Perpustakaan
Abdul Malik bin Habib atau Abu Imran al-Jauni beliau adalah seorang Tabi'in yang Tsiqoh, mengatakan:
كنا نسمع بالصحيفة فيها علم فننتابها كما ينتاب الرجل الفقيه حتى قدم علينا ههنا آل الزبير ومعهم قوم فقهاء
"Kami dulu mendengar tentang adanya sebuah lembaran yang terdapat padanya ilmu, maka kamipun silih berganti mendatanginya, bagaikan kami mendatangi seorang ahli fiqih. Sampai kemudian keluarga az-Zubair datang kepada kami disini dan bersama mereka orang-orang faqih". (Al-Kifayah 355, Fathul Mughits 3/27).
Lalu kenapa kita harus membatasi diri kita dengan hal-hal yang Alloh dan Rosul-Nya tidak pernah membatasinya??? Penghinaan tanpa sadar atas kitab-kitab ulama dan muhaddits ahlus sunnah tanpa ilmu, dengan istilah ‘kitab karangan’ (dalam arti negatif), bahkan adakalanya sebagian mereka menghina kitab-kitab itu tanpa pernah tahu isi dan siapa pengarangnya.
Padahal Bukhari sendiri mengarang kitab Tarikh (Sejarah) Al-Kabir dan Ash-Shaghir. Tirmidzi dan Ad-Daruquthni mengarang kitab Al-Ilal. Bahkan yang dianggap kakek guru kita yaitu Syaikh Abdul Dhohir Abu Samah (guru Mbah Nurhasan) mengarang kitab, seperti Hayatul Qulub Bi Du’a ‘Alamul Ghuyub, Al-Aulia wal Karamat, dan ar-Risalah Al-Makiyah.
Syaikh Syaikh Abdul Dhohir Abu Samah (guru Mbah Nurhasan, pendiri Islam Jamaah/354) rohimahullahu dalam bukunya itu membantah tulisan orang yang masih keluarganya sendiri karena dianggap menyelisihi manhaj salaf. Yang sekarang kalau kita sodorkan kepada Islam Jamaah/354 yang memegang kuat ilmu mangkul, serta merta akan berkata, “Wah ini kitab karangan !!!”. Seolah-olah yang disodorkan ini adalah kitab-kitab dusta karangan para pendusta. Menganggap amalan selain kelompoknya tidak akan diterima dengan alasan tidak mangkul, walaupun kenyataannya masih banyak orang-orang selain kelompoknya yang menerapkan metode semacam mangkul (sema’an, talaqian, dan lain-lain).
Diantara dalil yang digunakan adalah:
من قال فى كتاب الله عز وجل برأيه فأصاب فقد أخطأ
“Barangsiapa berbicara tentang Kitabullah (Al-Quran) Azza wa Jalla dengan ra’yi (pendapat-nya sendiri), walaupun benar maka sungguh-sungguh (hukumnya) tetap salah”.
Syeikh Al-Muhadits al-Albani mencantumkannya dalam Dha’if Sunan Abu Dawud dan mendha’ifkannya hadits di atas. Juga dalam komentar beliau terhadap kitab Misykatul Mashabih no. 235 karya Al-Khatib At-Tabrizi. Berkata al-Baihaqi: “Pada hadits ini ada kritikan”, Seperti disebutkan Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Abadi dalam 'Aunul Ma'bud Syarah Abu Dawud (10/85), yakni dha’if.
Atau hadits dengan lafazh lain:
من قال فى القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa berbicara tentang Al-Quran tanpa ilmu maka hendaknya menempati tempat duduknya di neraka”.
Hadits ini pun dha’if baik secara marfu maupun secara mauquf, disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Adh Dha’ifah (4/265) no. 1783 secara panjang lebar dan membantah yang menshahihkannya.
Menurut Islam Jamaah/354, arti ra’yi dan tanpa ilmu maksudnya adalah tanpa mangkul. Sehingga walaupun benar jika tidak mangkul maka tetap salah.
Tentu ini penyimpangan sangat jauh dari makna sebenarnya. Dua hadits itu dha’if, andai kata shahih pun tidak ada hujjah buat mereka. Ra’yi yang dimaksud adalah ra’yi yang tercela (tanpa dalil). Adapun ra’yi yang berdasarkan dalil, maka setiap ulama pun menggunakannya, bagaimana mungkin seorang manusia tidak menggunakan akalnya? Hanya saja akal harus disesuaikan dengan nash.
Nabi shollallahu’alaihi wasallam bersabda:
نضر الله امرأ سمع منا حديثا فحفظه حتى يبلغه غيره فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه ورب حامل فقه ليس بفقيه
“Semoga Allah Ta’ala memberi cahaya kepada seseorang yang mendengar sebuah hadits dari kami, lalu ia menghafalkan dan menyampaikannya kepada orang lain. Mungkin saja orang yang membawa ilmu itu bukan orang yang memahaminya. Mungkin juga orang yang membawa ilmu itu menyampaikannya kepada yang lebih paham darinya”.
Hadits ini shahih lagi dari banyak jalan kepada banyak sahabat, diantaranya dari Zaid ibn Tsabit radhiyallahu’anhu oleh Tirmidzi (5/33) no. 2656, Abu Dawud (3/322) no. 3660, Ibn Majah (1/84) no. 230 dan Nasai (3/431) no. 5847.
Kalau menurut ilmu mangkul, hadits di atas tidak mungkin terjadi, bukankah orang yang memaham-mahamkan sendiri, mengira-ngira sendiri suatu dalil (Al-Qur’an dan Hadits), menurut ilmu mangkul pasti sesatnya, kalau benar pun tidak akan diterima, bahkan Islam Jamaah/354 mengatakan (maaf) tae* bonjr*t.
Sedangkan para ulama salaf kita yang arif lagi bijaksana, yaitu Imam An-Naisaburi rahimahullahu berkata: "Tidak boleh hadits ini dimaksudkan bahwa; ”Jangan sampai seorangpun mengatakan pada Al-Quran kecuali apa yang ia dengar". Karena para Sahabat telah menafsirkan Al-Quran dan mereka berselisih pendapat pada beberapa masalah dan tidaklah semua yang mereka katakan itu mereka dengar dari Rasulullah shallalahu’alaihi wasalam”. (Mir'atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih (1/330)).
Jika kemudian mereka mau membaca -tanpa mangkul-, tetap mereka tidak mau mengamalkannya walaupun amalan itu diketahui shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits, dengan alasan ’belum mangkul’.
Padahal Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam telah memperingatkan bagaimana kesudahan orang-orang yang tidak mau mengamalkan kitab-kitab bermanfaat yang dibacanya. Yakni ketika seseorang ditanya oleh para malaikat di alam kubur:
فيقولان له: من ربك ؟ ) فيقول هاه هاه لا أدري ، فيقول له: ما دينك؟ فيقول: هاه هاه لا أدري)، فيقولن: فما تقول في هذا الرجل الذي بعث فيكم) فلا يهتدي لاسمه، فيقال: محمد! فيقول) هاه هاه لا أدري (سمعت الناس يقولون ذاك! قال: فيقال: لا دريت)، (ولا تلوت)، فينادي مناد من السماء أن كذب فافرشوا له من النار وافتحوا له بابا إلى النار
”Siapa Rabb mu?”. (Maka ia menjawab: ”Hah hah, saya tidak tahu”. Keduanya bertanya lagi: ”Apa agamamu?”. Ia menjawab : ”Hah hah saya tidak tahu”). Lalu keduanya bertanya lagi: ”Apa perkataan mu tentang orang yang diutus Allah kepada kalian itu?”. (Ia tidak tahu namanya. Lalu dikatakan kepadanya: ’Muhammad !”. Maka ia menjawab:) ”Hah hah saya tidak tahu (saya mendengar orang mengatakan begitu”. Lalu dikatakan kepadanya: ”Engkau tidak tahu?) (Dan tidak membaca?!”). Maka penyeru yang menyeru dari langit dengan mengatakan : ”Ia dusta. Maka bentangkanlah permadani dari neraka dan bukakanlah untuknya pintu ke neraka”. [Takhrij hadits ini dikeluarkan oleh Al-Albani secara lengkap dalam Ahkam Al-Janaiz hal 159, silahkan rujuki].
Jadi, tidak ada alasan bagi Islam Jamaah/354 untuk mengatakan: ”Saya tidak akan mengamalkannya, karena saya belum mangkul”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar