Kamis, 21 Agustus 2014

Diskusi Ilmiah: Infaq Persenan (KH Kasmudi)

Materi penerobosan pusat oleh KH Kasmudi (ulama Islam Jamaah/354): Menjawab Subhat Infaq Persenan (Transkrip rekaman nasihat KH. Kasmudi, Kediri 12-10-08)

Rekaman:
…......Yang ketiga, satu-satunya jamaah supaya memerlukan dan mempersungguh membela Qur’an dan Hadits . Intinya satu-satunya jamaah diminta ridhonya untuk meng-infaqkan sebagian hartanya, untuk kelancaran fii sabilillah, sebab imam itu sebagai peramut ru’yah. Ibaratnya seorang bapak punya kewajiban untuk meramut anak. Ibaratnya seorang wali yang diserahi meramut anak yatim punya kewajiban meramut anak yatim. Ibaratnya seseorang yang menanggung seseorang ia punya kewajiban untuk menyelesaikan tanggungannya. Di dalam mengurusi anak yatim, maka wali, boleh menggunakan hartanya anak yatim untuk kemaslahatan anak yatim itu.
Pembahasan:
Ucapan Pak Kyai ini sebenarnya ia sedang menggunakan kaidah fiqh, hanya saja ia tidak menyebutkannya (mengapa kami berani menyebutkannya demikian? Dikarenakan para mubaligh paku bumi selalu menggunakan kaidah ini), yakni:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Tindakan Imam terhadap rakyat harus dikaitkan dengan kemaslahatan”.
Kaidah di atas berasal dari fatwa imam syafi'i:
(منزلة الإمام من الرعية منزلة الولي من اليتيم)
"Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukannya seorang wali terhadap anak yatim".
Dan dasar perkataan Imam Syafi'i ini diambil dari perkataan Umar –Rodliallohu 'anhu:
قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ( إنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللَّهِ تَعَالَى بِمَنْزِلَةِ وَلِيِّ الْيَتِيمِ إنْ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ ) أَخْرَجَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنْ الْبَرَاءِ . الْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ عَلَى مَذْهَبِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ النُّعْمَانِ.
Umar –Rodliallohu 'anhu berkata: Sesungguhnya aku menempatkan diriku dari harta Allah Ta'ala sebagaimana kedudukannya seorang wali anak yatim, jika aku memerlukannya maka aku mengambil darinya, maka ketika terdapat sisa maka aku mengembalikannya, maka jika aku tidak membutuhkannya maka aku mencegahnya (menjauhinya)* dikeluarkan oleh Sa'id bin Mansyur dari Baro'”.
وَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه " إنِّي أَنْزَلْت نَفْسِي وَإِيَّاكُمْ مِنْ هَذَا الْمَالِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : { وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ }* سورة النساء، آية (6) وَاَللَّهِ مَا أَرَى أَرْضًا تُؤْخَذُ مِنْهَا شَاةٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ إلَّا اُسْتُسْرِعَ خَرَابُهَا ( انْتَهَى ) *الْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ عَلَى مَذْهَبِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ النُّعْمَانِ
Dan berkata amirul mukminin Umar bin Khottob Rodliallohu 'anhu: "Sesungguhnya aku menempatkan diriku dan kepada kalian dari harta ini sebagaimana kedudukannya wali anak yatim sesungguhnya Allah Tabaroka Wata'ala berfirman: "Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut". Dan demi Allah tidak kulihat suatu bumi yang dapat diambil darinya seekor kambing pada tiap hari kecuali disegerakan kehancurannya (bumi – yakni, untuk dilakukan ekspansi-pen)".
Telah diriwayatkan oleh Imam Baihaqi bahwa perkataan Khalifah Umar ini berkenaan ketika beliau mengutus tiga orang sahabat ke negeri penaklukan, yakni Kuffah, yaitu Amar bin Yasir untuk mengurus masalah sholat dan pasukan. Ibnu Mas'ud mengurus masalah hukum dan baitul mal, dan 'Usman bin Hunaif mengurus pengukuran tanah.
Maka kaidah fiqh di atas berkenaan dengan penyelenggaraan kenegaraan/pemerintahan, yakni tindakan pemimpin negara melakukan kebijakan kepada rakyatnya haruslah di dasarkan pada kemaslahatan rakyat, bukan dimaksud pada Amir yang tidak memiliki kekuasaan sama sekali.
Ini terbukti bahwa Kaidah fiqh ini bersumber dari perkataan Umar bin Khottob ketika mengutus tiga orang amilnya ke negeri Kuffah (negeri yang telah dikuasai Islam) termasuk di dalamnya ditetapkannya jizyah/upeti atau pajak kepada kafir zimmi (perkataan Umar di atas" Dan demi Allah tidak kulihat suatu bumi yang dapat diambil darinya seekor kambing pada tiap hari kecuali disegerakan kehancurannya (bumi – yakni, untuk dilakukan ekspansi-pen))". Maka pajak/upeti yang diambil oleh Nabi dan para kholifah adalah kepada orang kafir zimmi yang berada di bawah kekuasaannya. Maka, sekarang apa yang dilakukan oleh pengurus Pusat, ia telah mengambil pajak/upeti itu kepada para jama'ahnya sendiri dengan menggunakan istilah "infaq persenan".
     










Tidak ada komentar:

Posting Komentar