Rekaman:
“…......Yang
ketiga, satu-satunya jamaah supaya memerlukan dan mempersungguh membela Qur’an
dan Hadits . Intinya satu-satunya jamaah diminta ridhonya untuk meng-infaqkan
sebagian hartanya, untuk kelancaran fii sabilillah, sebab imam itu sebagai
peramut ru’yah. Ibaratnya seorang bapak punya kewajiban untuk meramut anak. Ibaratnya
seorang wali yang diserahi meramut anak yatim punya kewajiban meramut anak
yatim. Ibaratnya seseorang yang menanggung seseorang ia punya kewajiban untuk menyelesaikan
tanggungannya. Di dalam mengurusi anak yatim, maka wali, boleh menggunakan
hartanya anak yatim untuk kemaslahatan anak yatim itu.
Pembahasan:
Ucapan Pak Kyai ini sebenarnya ia
sedang menggunakan kaidah fiqh, hanya saja ia tidak menyebutkannya (mengapa
kami berani menyebutkannya demikian? Dikarenakan para mubaligh paku bumi selalu
menggunakan kaidah ini), yakni:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ
بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan Imam terhadap rakyat harus dikaitkan dengan kemaslahatan”.
Kaidah di atas berasal dari fatwa imam
syafi'i:
(منزلة الإمام
من الرعية منزلة الولي من اليتيم)
"Kedudukan imam terhadap rakyat
adalah seperti kedudukannya seorang wali terhadap anak yatim".
Dan dasar perkataan Imam Syafi'i ini
diambil dari perkataan Umar –Rodliallohu 'anhu:
قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ( إنِّي أَنْزَلْتُ
نَفْسِي مِنْ مَالِ اللَّهِ تَعَالَى بِمَنْزِلَةِ وَلِيِّ الْيَتِيمِ إنْ
احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ
اسْتَعْفَفْتُ ) أَخْرَجَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنْ الْبَرَاءِ . الْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ عَلَى مَذْهَبِ أَبِيْ
حَنِيْفَةَ النُّعْمَانِ.
“Umar –Rodliallohu 'anhu berkata: Sesungguhnya aku menempatkan diriku dari
harta Allah Ta'ala sebagaimana kedudukannya seorang wali anak yatim, jika aku
memerlukannya maka aku mengambil darinya, maka ketika terdapat sisa maka aku
mengembalikannya, maka jika aku tidak membutuhkannya maka aku mencegahnya
(menjauhinya)* dikeluarkan oleh Sa'id bin Mansyur dari Baro'”.
وَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي
الله عنه " إنِّي أَنْزَلْت نَفْسِي وَإِيَّاكُمْ مِنْ هَذَا الْمَالِ
بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : {
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ
بِالْمَعْرُوفِ }* سورة النساء، آية (6) وَاَللَّهِ مَا
أَرَى أَرْضًا تُؤْخَذُ مِنْهَا شَاةٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ إلَّا اُسْتُسْرِعَ
خَرَابُهَا ( انْتَهَى ) *الْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ عَلَى مَذْهَبِ أَبِيْ
حَنِيْفَةَ النُّعْمَانِ
“Dan berkata amirul mukminin Umar bin Khottob Rodliallohu 'anhu: "Sesungguhnya
aku menempatkan diriku dan kepada kalian dari harta ini sebagaimana
kedudukannya wali anak yatim sesungguhnya Allah Tabaroka Wata'ala berfirman:
"Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa
yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut". Dan demi Allah tidak kulihat suatu bumi yang dapat
diambil darinya seekor kambing pada tiap hari kecuali disegerakan kehancurannya
(bumi – yakni, untuk dilakukan ekspansi-pen)".
Telah diriwayatkan oleh Imam Baihaqi
bahwa perkataan Khalifah Umar ini berkenaan ketika beliau mengutus tiga orang
sahabat ke negeri penaklukan, yakni Kuffah, yaitu Amar bin Yasir
untuk mengurus masalah sholat dan pasukan. Ibnu Mas'ud mengurus masalah hukum dan baitul mal, dan 'Usman bin
Hunaif mengurus pengukuran tanah.
Maka kaidah fiqh di atas berkenaan dengan
penyelenggaraan kenegaraan/pemerintahan, yakni tindakan pemimpin negara
melakukan kebijakan kepada rakyatnya haruslah di dasarkan pada kemaslahatan
rakyat, bukan dimaksud pada Amir yang tidak memiliki kekuasaan sama sekali.
Ini terbukti bahwa Kaidah fiqh ini bersumber
dari perkataan Umar bin Khottob ketika mengutus tiga orang amilnya ke negeri Kuffah (negeri yang telah dikuasai Islam) termasuk di dalamnya ditetapkannya jizyah/upeti atau pajak kepada
kafir zimmi (perkataan Umar di atas" Dan demi Allah tidak kulihat suatu
bumi yang dapat diambil darinya seekor kambing pada tiap hari kecuali
disegerakan kehancurannya (bumi – yakni, untuk dilakukan ekspansi-pen))".
Maka pajak/upeti yang diambil oleh Nabi dan para kholifah adalah kepada orang
kafir zimmi yang berada di bawah kekuasaannya. Maka, sekarang apa yang dilakukan oleh pengurus Pusat, ia telah mengambil pajak/upeti itu kepada para
jama'ahnya sendiri dengan menggunakan istilah "infaq persenan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar