Kamis, 21 Agustus 2014

Bid’ah



Imam Asy-Syathibi (w. 790 H) dalam Al-I’tishom berkata: “Bid’ah adalah cara baru dalam agama [1] yang dibuat menyerupai syari’at [2] dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah [3] ” (Al-I’tisham, hal. 50).
1.      Cara baru dalam agama maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama.
2.      Ungkapan ‘menyerupai syari’at’ sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syariat, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.
3.      Ungkapan ‘untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah’, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta dia mengulang-ulanginya. (Ilmu Ushulil Bida’ (hal. 24-25) oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid).

Beliau juga berkata: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at [4]” (Al-I’tisham, hal. 51).
4. Maknanya bahwa jika itu dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah.

Ulil Amri Atau Siapapun Tidak Berhak Menentukan Syari’at
Ulil amri tidak ada padanya hak untuk menentukan halal, haram, dan syari’at lain dari Din ini, baik itu dengan “hak ijtihad mereka” atau tidak. Sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya (Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi).
Inilah makna tersembunyi dalam surat an-Nissa ayat 59, dimana kata kerja (taatilah) tidak diulangi pada ulil amri (Tafsir As-Sa’di (1/183):
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Imam ibn Abi al-Izz Al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 252 berkata:  
فتأمل قوله تعالى: { أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم } - كيف قال:"وأطيعوا الرسول"، ولم يقل: وأطيعوا أولي الأمر منكم؟ لأن أولي الأمر لا يفردون بالطاعة، بل يطاعون فيما هو طاعة لله ورسوله. وأعاد الفعل مع الرسول [ للدلالة على أن من أطاع الرسول ] فقد أطاع الله، فإن الرسول صلى الله عليه وسلم لا يأمر بغير طاعة الله، بل هو معصوم في ذلك، وأما ولي الأمر فقد يأمر بغير طاعة الله، فلا يطاع إلا فيما هو طاعة لله ورسوله.
“Cermatilah bagaimana Dia berfirman: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul” tapi tidak berfirman : “Dan taatilah ulil amri diantara kamu”, karena Ulil amri tidak ditaati sepihak, tetapi mereka ditaati dalam perkara yang terdapat didalamnya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kata kerja (taatilah) dalam ayat tersebut diulang kembali pada ketaatan kepada Rasul karena siapa yang taat kepada Rasul berarti dia telah mentaati Allah, sebab Rasul tidak memerintahkan selain ketaatan kepada Allah, bahkan dia terlindungi (ma’shum) dalam demikian itu, tapi ulil amri bisa jadi dia menyuruh kepada ketaatan tidak kepada Allah, maka dia tidak ditaati kecuali pada perkara ketaatan kepada Allah dan Rasulnya”.
Adapun kepada mereka yang bersikeras mengikuti kesalahan para imamnya kita patut heran:
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
“Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka dari ad-din yang tidak dizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuraa : 21).
Oleh sebab itu, tatkala Abu Bakar radhiyallahu’anhu diangkat menjadi khalifah, beliau berkata:
إنما أنا متبع ولست بمبتدع
“… Sesungguhnya aku ini muttabi’ (orang yang mengikuti) bukan mubtadi’ (membuat bid’ah)”.[3]
Qadhi Iyadh rahimahullahu dalam Kitab Tartib Madarik Wa Taqrib Masalik (1/166), berkata:   
فقال فتيان: حدثني مالك أن الإمام لا يكون إماماً أبداً إلا على شرط أبي بكر الصديق رضي الله تعالى عنه،
“Berkata Fatayan : menceritakan kepada saya Malik : “Sesungguhnya tidak seorang pun yang diangkat menjadi imam, kecuali dia harus memenuhi syarat Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu Ta’ala’anhu, (lalu Malik menyebutkan perkataan Abu Bakar, diantaranya perkataan diatas)”.
Demikianlah seharusnya seorang imam, tidak ada hak baginya menentukan dalam ad-Din ini sesuatu yang baru, apa yang dicontohkan oleh Rosululloh Shallallahu’alaihi wasallam telah mencukupi dan sempurna. Berkata Imam Ad-Darimi dalam Sunan (no. 223): 
أخبرنا موسى بن خالد حدثنا عيسى بن يونس عن الأعمش عن عمارة ومالك بن الحارث عن عبد الرحمن بن يزيد عن عبد الله قال : القصد فى السنة خير من الاجتهاد فى البدعة
“Mengkhabarkan kepada kami Musa ibn Khalid, menceritakan kepada kami ‘Isa ibn Yunus dari Al-A’masy dari ‘Umaroh dan Malik ibn Al-Harits dari Abdurrahman ibn Yazid dari Abdullah (ibn Mas’ud) berkata, “Beramal sekedarnya dengan mengikuti sunnah, adalah lebih baik daripada berijtihad dalam bid’ah”.
Adapun dalam urusan keduniawian, -yang tidak dikehendaki pahala dengannya- maka imam lebih tahu kemaslahatan ru’yahnya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam:  
أنتم أعلم بأمر دنياكم
“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” (HR. Muslim no. 2363).
Adapun dalam urusan ibadah -yang dikehendaki pahala dengannya- adalah hak Allah dan rasul-Nya, kita semuanya tanpa kecuali hanya ‘itiba. Oleh sebab itu, Syaikh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (4/393) berkata: 
وفيه أنّ الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب.
“Dan bahwa sesungguhnya imam ketika perintah dengan mandub [7] atau mubah [8], maka wajib (taat kepadanya)”.
Beliau mendahului perkataanya itu dengan perkataan:   
تجب بل يحرم إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Haram dan wajib tidak ta’at kepada mahluk dalam ma’shiat kepada Khaliq”.
Yang dikehendaki adalah wajibnya taat dalam perintah mandub dan mubah itu sebab tidak ada dalam keduanya (mandub dan mubah) dosa (ma’shiat). Adapun jika imam perintah ma’shiat kepada Allah dan rasul-Nya, maka tidak boleh taat kepadanya. Sedangkan bid’ah termasuk dalam ma’shiat, bahkan dolalah (sesat), dan tiap dolalah itu di neraka  yaitu pelakunya (HR. Nasa‘i (3/189) no. 1578, Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Sunan Nasa’i (I/346 no.1577).
Asy-Syathibi dalam Al-I’tishom berkata:
“…tujuan dilaksanakannya (bid’ah) adalah sebagaimana tujuan syari’at”.
Maknanya bahwa jika itu dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah yang dikehendaki pahala dengannya, ia bisa dimasuki oleh bid’ah.



1.      Infak Persenan
Islam Jamaah/354 seharusnya paham bahwa harta kaum muslimin terjaga oleh Islam, tidak boleh diambil kecuali karena hak (sah). Jika tidak, perbuatan itu berarti memakan harta manusia secara tidak sah (bathil).
Allah Ta’ala berfirman: 
يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُوَاْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مّنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (Qs. An Nisa’: 29).
Dan sabda Rosululloh shollallahu’alaihi wasallam:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim atas muslim lainnya haram; darah, harta dan kehormatannya” (HR. Muslim no. 2564)
Adapun yang wajib dikeluarkan dari harta kaum muslimin adalah zakat, sedangkan zakat telah jelas ketentuannya dalam sunnah, tidak boleh menambah selain yang disyari’atkan. Barangsiapa melakukannya maka ia telah memakan harta kaum muslimin dengan batil.
Dan diantara syarat zakat harta adalah harus mencapai nisab dan haul (satu tahun putaran). Dalam hadits disebutkan:
لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tidak ada zakat pada harta sampai berlalu padanya satu tahun (al-haul)” (Abu Dawud no. 1573).
Jika zakat yang wajib dan jelas ketentuannya saja harus dikeluarkan sampai mencapai haul (satu tahun) maka apakah bukan kezhaliman mewajibkan infak, dengan persenan tertentu yang bahkan bisa menyentuh 10 %, dan bahkan setiap 1 bulan sekali kepada kaum muslimin?!!
Padahal, Rosululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:  
“مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ”.
"Barangsiapa mengada-ada (sesuatu) dalam urusan (agama) kami ini, padahal bukan termasuk bagian di dalamnya, maka itu tertolak" (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Hadits ini menegaskan bahwa orang yang melakukan suatu bentuk peribadatan (yang dikehendaki pahala didalamnya) harus mendatangkan dalil (berdasarkan nash). Adapun yang mengingkari sebenarnya cukuplah ia bertanya, “Apakah ada dalilnya?”. Dan kewajiban yang melakukan ibadah itulah, yang sebenarnya harus mendatangkan dalil.
Mungkin mereka yang mewajibkan infak persenan ini, memiliki alasan:
a.      Ini adalah ijtihad imam
Padahal sesungguhnya ulil amri tidak ada padanya hak membuat syari’at atau peribadatan, sebab Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka dari ad-din yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21].
b.      Infak ini diwajibkan karena darurat
Alasan ini tidak bisa diterima, sebab tidak ada situasi darurat sama sekali, bahkan tidak mungkin darurat terjadi terus menerus. Nabi shollallahu’alaihi wasallam ketika menghadapi perang saja tidak mewajibkan infak model ini. Tetapi beliau menawarkan kepada para sahabat, ”Siapa yang hendak bershodaqah kuda..” dan seterusnya seperti yang telah masyhur. Bukankah perang yang dimaksud hadits itu terjadi disaat darurat?

2.      Surat Tobat
Taubat itu perkara yang ma’ruf dan wajib bagi orang yang bersalah. Tetapi bukan berarti boleh mewajibkan jamaah agar membuka aibnya dihadapan imam. Bahkan Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam ketika ada orang yang mengaku berzina, beliau berpaling dari orang itu sampai tiga kali, sebagaimana dalam hadits :
”Ada seseorang dari kaum muslimin yang menghadap Rasulullah sholallahu ’alahi wasallam saat beliau di Masjid, ia menyeru beliau dan berkata, ”Wahai Rosululloh, sungguh aku telah berzina”. Beliau berpaling dari orang tersebut,... sampai tiga kali, lalu beliau berkata, ”Apakah kamu gila?”
Diriwayatkan oleh Bukhari no. 6815, Muslim no. 1691, Tirmidzi no. 1428, dan Ibnu Majah no. 2554.
Tentang pengakuan dosa dihadapan imam dalam bentuk suratnya dan lalu jawaban kafaroh adalah tidak ada tuntunannya dalam Al Quran dan Sunnah, bahkan hal ini sangat mirip dengan orang kafir Katolik. Sedangkan Rosululloh Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka”. (Abu Dawud no. 4031)
Dari dua sisi saja, nampak sekali kebatilan surat taubat ini.
Kemudian jika jama’ah taat dan membuka dosa-dosa mereka dihadapan imam, maka yang rugi adalah imam itu sendiri, kalau dia tidak bisa menegakan hudud.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَعَافُّوا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ] قبل أن تأتوني به[ فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ
“Saling memaafkanlah al-hudud di antara kalian [dalam satu riwayat: sebelum sampai kepadaku masalahnya], karena jika (masalah itu) telah sampai (diangkat) kepadaku (yakni kepada umara), maka sungguh wajib (menegakannya)”. (Abu Dawud (4/133) no. 4376, Nasai no. 4885, 4886 dan lainnya).
Sedangkan seperti kita ketahui, imam jama’ah ini tidak mampu menegakan hukum atau memaksa seseorang mematuhi hukum sebab memang dia tidak memiliki kekuasaan, jadi malah tiada manfaatnya menampakan dosa pada imam yang tidak bisa menegakan kafaroh. Sedangkan aib (dosa) jama’ah yang bertaubat malah terbuka.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ.
“Diantara pertanda kebaikan Islam seseorang ialah ia meninggalkan hal-hal yang tidak perlu bagi dirinya”.
Dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu diriwayatkan oleh Tirmidzi (4/558) no. 2317, Ibnu Majah (2/1325) no. 3976 dan dari Ali ibn Al-Husain oleh Tirmidzi (4/558) no. 2318.

3.      Dan Bid’ah-bid’ah yang lain (insyaAlloh berlanjut)
a.       Apakah sambung jamaah ada dalilnya? Apakah Nabi mewajibkan sambung atas jamaah-jamaahnya? Yang ada adalah mencari itu hukumnya adalah wajib bagi tiap-tiap muslim. Jadi bukan majlisnya yang diwajibkan.
b.      Apakah berdoa setelah membaca Al Quran ada dalilnya?
c.       Apakah meninggalkan barisan solat setelah selesainya solat harus mengacungkan jari? Apakah Rosululloh pernah mencontohkan hal tersebut?
d.      Apakah Rosululloh tidak ulung-ulungan dengan perempuan yang bukan mahromnya?
e.       Apakah ada dalilnya bersyukur kepada manusia ditambahi lafazh “Alhamdulillah” didepannya?
f.       Apakah ada dalilnya duduk/berdiri dengan yang bukan mahromnya harus minimal 1 meter? Apa dasar imam menetapkan peraturan ini?
g.      Apakah ada dalilnya apabila Jamaah ada yang kecelakaan dan meninggal dunia, dan tidak membawa surat-surat (SIM) maka matinya tidak boleh disolati?
h.      Apakah ada dalilnya tentang wajibnya sepak bola? Asad? Dll. Yang tidak melaksanakan (dengan seenaknya) dihukumi dosa oleh pengurusnya. (peraturan dunia dijadikan peraturan agama yang mempunyai timbangan dosa dan pahala)
i.        Ternyata solat Tasbeh, solat Khifdhi dalilnya adalah Dhoif.
Dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar