Imam Asy-Syathibi
(w. 790 H) dalam Al-I’tishom berkata: “Bid’ah adalah cara baru dalam agama [1]
yang dibuat menyerupai syari’at [2] dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah
kepada Allah [3] ” (Al-I’tisham, hal. 50).
1. Cara
baru dalam agama maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh
pembuatnya kepada agama.
2. Ungkapan
‘menyerupai syari’at’ sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam
agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syariat, bahkan bertentangan dengan
syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang
tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam
syari’at tidak ada ketentuannya.
3. Ungkapan
‘untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah’, adalah pelengkap makna
bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan
untuk tekun beribadah, seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa
maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah, dan dia merasa bahwa apa
yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum
belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta dia
mengulang-ulanginya. (Ilmu Ushulil Bida’ (hal. 24-25) oleh Syaikh ‘Ali Hasan
‘Ali ‘Abdul Hamid).
Beliau juga berkata:
“Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai
ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan
syari’at [4]” (Al-I’tisham, hal. 51).
4.
Maknanya bahwa jika itu dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengandung
kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan
dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah.
Ulil Amri Atau Siapapun Tidak
Berhak Menentukan Syari’at
Ulil amri tidak ada padanya
hak untuk menentukan halal, haram, dan syari’at lain dari Din ini, baik itu
dengan “hak ijtihad mereka” atau tidak. Sesungguhnya penghalalan dan
pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah,
cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah
adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri di
dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita
tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus
mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya (Ilmu Ushul Al-Fiqh
Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, Syaikh Ali Hasan
Al-Halabi).
Inilah makna tersembunyi
dalam surat an-Nissa ayat 59, dimana kata kerja (taatilah) tidak diulangi pada
ulil amri (Tafsir As-Sa’di (1/183):
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Imam ibn Abi al-Izz Al-Hanafi
dalam Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 252 berkata:
فتأمل قوله تعالى: { أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
} - كيف قال:"وأطيعوا الرسول"، ولم يقل: وأطيعوا أولي الأمر
منكم؟ لأن أولي الأمر لا يفردون بالطاعة، بل يطاعون فيما هو طاعة لله ورسوله.
وأعاد الفعل مع الرسول [ للدلالة على أن من أطاع الرسول ] فقد أطاع الله، فإن
الرسول صلى الله عليه وسلم لا يأمر بغير طاعة الله، بل هو معصوم في ذلك، وأما ولي
الأمر فقد يأمر بغير طاعة الله، فلا يطاع إلا فيما هو طاعة لله ورسوله.
“Cermatilah
bagaimana Dia berfirman: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul” tapi tidak
berfirman : “Dan taatilah ulil amri diantara kamu”, karena Ulil amri tidak
ditaati sepihak, tetapi mereka ditaati dalam perkara yang terdapat didalamnya
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kata kerja (taatilah) dalam ayat tersebut
diulang kembali pada ketaatan kepada Rasul karena siapa yang taat kepada Rasul
berarti dia telah mentaati Allah, sebab Rasul tidak memerintahkan selain
ketaatan kepada Allah, bahkan dia terlindungi (ma’shum) dalam demikian itu, tapi
ulil amri bisa jadi dia menyuruh kepada ketaatan tidak kepada Allah, maka dia
tidak ditaati kecuali pada perkara ketaatan kepada Allah dan Rasulnya”.
Adapun kepada mereka yang
bersikeras mengikuti kesalahan para imamnya kita patut heran:
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
“Apakah
mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka dari ad-din yang
tidak dizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuraa : 21).
Oleh sebab itu,
tatkala Abu Bakar radhiyallahu’anhu diangkat menjadi khalifah, beliau berkata:
إنما أنا متبع ولست بمبتدع
“… Sesungguhnya aku ini muttabi’ (orang yang mengikuti) bukan
mubtadi’ (membuat bid’ah)”.[3]
Qadhi Iyadh
rahimahullahu dalam Kitab Tartib Madarik Wa Taqrib Masalik (1/166), berkata:
فقال فتيان: حدثني مالك أن الإمام لا يكون إماماً أبداً إلا على شرط
أبي بكر الصديق رضي الله تعالى عنه،
“Berkata Fatayan : menceritakan kepada saya Malik : “Sesungguhnya
tidak seorang pun yang diangkat menjadi imam, kecuali dia harus memenuhi syarat
Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu Ta’ala’anhu, (lalu Malik menyebutkan perkataan
Abu Bakar, diantaranya perkataan diatas)”.
Demikianlah
seharusnya seorang imam, tidak ada hak baginya menentukan dalam ad-Din ini
sesuatu yang baru, apa yang dicontohkan oleh Rosululloh Shallallahu’alaihi wasallam
telah mencukupi dan sempurna. Berkata Imam Ad-Darimi dalam Sunan (no. 223):
أخبرنا موسى بن خالد حدثنا عيسى بن يونس عن الأعمش عن عمارة ومالك بن
الحارث عن عبد الرحمن بن يزيد عن عبد الله قال : القصد فى السنة خير من
الاجتهاد فى البدعة
“Mengkhabarkan kepada kami Musa ibn Khalid, menceritakan kepada
kami ‘Isa ibn Yunus dari Al-A’masy dari ‘Umaroh dan Malik ibn Al-Harits dari
Abdurrahman ibn Yazid dari Abdullah (ibn Mas’ud) berkata, “Beramal
sekedarnya dengan mengikuti sunnah, adalah lebih baik daripada berijtihad dalam
bid’ah”.
Adapun dalam
urusan keduniawian, -yang tidak dikehendaki pahala dengannya- maka imam lebih
tahu kemaslahatan ru’yahnya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi
wasalam:
أنتم أعلم بأمر دنياكم
“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” (HR. Muslim no. 2363).
Adapun dalam
urusan ibadah -yang dikehendaki pahala dengannya- adalah hak Allah dan
rasul-Nya, kita semuanya tanpa kecuali hanya ‘itiba. Oleh sebab itu, Syaikh Muhammad Abdurrahman
al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (4/393) berkata:
وفيه أنّ الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب.
“Dan
bahwa sesungguhnya imam ketika perintah dengan mandub [7] atau mubah [8], maka
wajib (taat kepadanya)”.
Beliau mendahului perkataanya
itu dengan perkataan:
تجب بل يحرم إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Haram
dan wajib tidak ta’at kepada mahluk dalam ma’shiat kepada Khaliq”.
Yang dikehendaki adalah
wajibnya taat dalam perintah mandub dan mubah itu sebab tidak ada dalam
keduanya (mandub dan mubah) dosa (ma’shiat). Adapun jika imam perintah ma’shiat
kepada Allah dan rasul-Nya, maka tidak boleh taat kepadanya. Sedangkan bid’ah
termasuk dalam ma’shiat, bahkan dolalah (sesat), dan tiap dolalah itu di neraka yaitu pelakunya (HR. Nasa‘i (3/189) no.
1578, Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Sunan Nasa’i (I/346 no.1577).
Asy-Syathibi dalam
Al-I’tishom berkata:
“…tujuan
dilaksanakannya (bid’ah) adalah sebagaimana tujuan syari’at”.
Maknanya bahwa jika itu
dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun
bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai
ibadah yang dikehendaki pahala dengannya, ia bisa dimasuki oleh bid’ah.
1. Infak Persenan
Islam Jamaah/354 seharusnya paham bahwa harta kaum muslimin terjaga oleh
Islam, tidak boleh diambil kecuali karena hak (sah). Jika tidak, perbuatan itu
berarti memakan harta manusia secara tidak sah (bathil).
Allah Ta’ala
berfirman:
يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَأْكُلُوَاْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مّنْكُمْ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu.” (Qs. An Nisa’: 29).
Dan sabda Rosululloh
shollallahu’alaihi wasallam:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim atas muslim lainnya haram; darah, harta dan kehormatannya”
(HR. Muslim no. 2564)
Adapun yang wajib
dikeluarkan dari harta kaum muslimin adalah zakat, sedangkan zakat telah jelas
ketentuannya dalam sunnah, tidak boleh menambah selain yang disyari’atkan.
Barangsiapa melakukannya maka ia telah memakan harta kaum muslimin dengan
batil.
Dan diantara
syarat zakat harta adalah harus mencapai nisab dan haul (satu tahun putaran).
Dalam hadits disebutkan:
لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ
حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tidak ada zakat
pada harta sampai berlalu padanya satu tahun (al-haul)” (Abu Dawud no. 1573).
Jika zakat yang
wajib dan jelas ketentuannya saja harus dikeluarkan sampai mencapai haul (satu
tahun) maka apakah bukan kezhaliman mewajibkan infak, dengan persenan tertentu
yang bahkan bisa menyentuh 10 %, dan bahkan setiap 1 bulan sekali kepada kaum
muslimin?!!
Padahal, Rosululloh
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ”.
"Barangsiapa
mengada-ada (sesuatu) dalam urusan (agama) kami ini, padahal bukan termasuk
bagian di dalamnya, maka itu tertolak" (HR. Bukhari
no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Hadits ini menegaskan bahwa orang yang
melakukan suatu bentuk peribadatan (yang dikehendaki pahala didalamnya) harus
mendatangkan dalil (berdasarkan nash). Adapun yang mengingkari sebenarnya
cukuplah ia bertanya, “Apakah ada dalilnya?”. Dan kewajiban yang melakukan
ibadah itulah, yang sebenarnya harus mendatangkan dalil.
Mungkin mereka
yang mewajibkan infak persenan ini, memiliki alasan:
a.
Ini adalah ijtihad imam
Padahal sesungguhnya ulil amri tidak ada
padanya hak membuat syari’at atau peribadatan, sebab Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ
شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai para sekutu yang
mensyari’atkan untuk mereka dari ad-din yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa
: 21].
b.
Infak ini diwajibkan karena darurat
Alasan ini tidak bisa diterima, sebab tidak ada situasi darurat sama
sekali, bahkan tidak mungkin darurat terjadi terus menerus. Nabi
shollallahu’alaihi wasallam ketika menghadapi perang saja tidak mewajibkan
infak model ini. Tetapi beliau menawarkan kepada para sahabat, ”Siapa yang
hendak bershodaqah kuda..” dan seterusnya seperti yang telah masyhur. Bukankah
perang yang dimaksud hadits itu terjadi disaat darurat?
2.
Surat
Tobat
Taubat itu perkara yang ma’ruf dan wajib bagi orang yang
bersalah. Tetapi bukan berarti boleh mewajibkan jamaah agar membuka aibnya
dihadapan imam. Bahkan Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam ketika ada orang
yang mengaku berzina, beliau berpaling dari orang itu sampai tiga kali,
sebagaimana dalam hadits :
”Ada seseorang dari kaum
muslimin yang menghadap Rasulullah sholallahu ’alahi wasallam saat beliau di Masjid,
ia menyeru beliau dan berkata, ”Wahai Rosululloh, sungguh aku telah berzina”.
Beliau berpaling dari orang tersebut,... sampai tiga kali, lalu beliau berkata,
”Apakah kamu gila?”
Diriwayatkan oleh Bukhari no. 6815,
Muslim no. 1691, Tirmidzi no. 1428, dan Ibnu Majah no. 2554.
Tentang pengakuan dosa dihadapan imam
dalam bentuk suratnya dan lalu jawaban kafaroh adalah tidak ada tuntunannya
dalam Al Quran dan Sunnah, bahkan hal ini sangat mirip dengan orang kafir
Katolik. Sedangkan Rosululloh Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum
maka ia termasuk golongan mereka”. (Abu Dawud no.
4031)
Dari dua sisi saja, nampak sekali
kebatilan surat taubat ini.
Kemudian jika jama’ah taat dan membuka
dosa-dosa mereka dihadapan imam, maka yang rugi adalah imam itu sendiri, kalau
dia tidak bisa menegakan hudud.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
تَعَافُّوا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ] قبل أن تأتوني به[ فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ
“Saling memaafkanlah
al-hudud di antara kalian [dalam satu riwayat: sebelum sampai kepadaku
masalahnya], karena jika (masalah itu) telah sampai (diangkat) kepadaku (yakni
kepada umara), maka sungguh wajib (menegakannya)”. (Abu Dawud (4/133) no. 4376,
Nasai no. 4885, 4886 dan lainnya).
Sedangkan seperti kita
ketahui, imam jama’ah ini tidak mampu menegakan hukum atau memaksa seseorang
mematuhi hukum sebab memang dia tidak memiliki kekuasaan, jadi malah tiada
manfaatnya menampakan dosa pada imam yang tidak bisa menegakan kafaroh.
Sedangkan aib (dosa) jama’ah yang bertaubat malah terbuka.
Rasulullah
shallallahu’alaihi wasalam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ.
“Diantara pertanda kebaikan Islam seseorang ialah ia meninggalkan
hal-hal yang tidak perlu bagi dirinya”.
Dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu diriwayatkan
oleh Tirmidzi (4/558) no. 2317, Ibnu Majah (2/1325) no. 3976 dan dari Ali ibn
Al-Husain oleh Tirmidzi (4/558) no. 2318.
3.
Dan
Bid’ah-bid’ah yang lain (insyaAlloh berlanjut)
a. Apakah
sambung jamaah ada dalilnya? Apakah Nabi mewajibkan sambung atas
jamaah-jamaahnya? Yang ada adalah mencari itu hukumnya adalah wajib bagi tiap-tiap muslim. Jadi bukan majlisnya yang diwajibkan.
b. Apakah
berdoa setelah membaca Al Quran ada dalilnya?
c. Apakah
meninggalkan barisan solat setelah selesainya solat harus mengacungkan jari?
Apakah Rosululloh pernah mencontohkan hal tersebut?
d. Apakah
Rosululloh tidak ulung-ulungan dengan perempuan yang bukan mahromnya?
e. Apakah
ada dalilnya bersyukur kepada manusia ditambahi lafazh “Alhamdulillah”
didepannya?
f. Apakah
ada dalilnya duduk/berdiri dengan yang bukan mahromnya harus minimal 1 meter?
Apa dasar imam menetapkan peraturan ini?
g. Apakah
ada dalilnya apabila Jamaah ada yang kecelakaan dan meninggal dunia, dan tidak
membawa surat-surat (SIM) maka matinya tidak boleh disolati?
h. Apakah
ada dalilnya tentang wajibnya sepak bola? Asad? Dll. Yang tidak melaksanakan
(dengan seenaknya) dihukumi dosa
oleh pengurusnya. (peraturan dunia dijadikan peraturan agama yang mempunyai
timbangan dosa dan pahala)
i.
Ternyata solat Tasbeh, solat Khifdhi dalilnya
adalah Dhoif.
Dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar