Salah satu paham resmi Islam Jamaah/354
adalah mengkafirkan orang Islam di luar Jamaahnya dengan beberapa alasan dengan
menggunakan dalil. Apabila ditanya, mereka tidak akan pernah mengakui paham
ini, atau mereka memang tidak sependapat dengan paham resmi ini. Mari kita kaji
bersama kebenaran paham ini ditimbang dari dalil-dalil yang shohih.
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمنِ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ p، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ a يَقُوْلُ:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ
الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Dari Abu
Abdirrahman Abdullah bin Umar bin al-Khaththab Rodhiallohu ‘anhu, ia
mengatakan, "Aku mendengar
Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wasallam bersabda, Islam dibangun diatas lima
perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan" (HR. Bukhari
dan Muslim).
Syarah
hadits di atas dijelaskan oleh Imam Nawawi bahwa Rosululloh bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ.
"Islam dibangun berdasarkan lima perkara".
Maksud hadits di atas adalah siapa saja
yang mengerjakan kelima rukun ini maka telah sempurna keislamannya.
Sebagaimana halnya rumah menjadi sempurna dengan pilar-pilarnya, demikian pula
Islam menjadi sempurna dengan rukun-rukunnya, yaitu lima perkara.
Sabda Beliau Sholallohu ‘alaihi
wasallam, "Islam dibangun dengan lima perkara." Yakni, dengan
lima perkara, karena 'ala dalam lafal
tersebut bermakna bi (dengan). Berarti
yang dibangun itu berbeda dengan pondasi bangunannya. Seandainya kita mengambil
makna zhahirnya, niscaya kelima perkara tersebut di luar dari Islam. Sehingga
pengertiannya menjadi rusak. Bisa juga 'ala
bermakna min (dari), seperti
firmanNya, "Kecuali atas istri-istri mereka." (Al-Mu'minun: 6).
Yakni, dari istri-istri mereka. Lima perkara yang disebutkan dalam hadits
adalah pokok-pokok bangunan. Adapun tambahan dan penyempurnaanya, seperti
kawajiban-kewajiban lainnya dan amalan-amalan sunnah, maka itu adalah hiasan bangunan.
Disebutkan dalam hadits bahwa Beliau bersabda:
الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، أَعْلاَهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ –قال- وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ.
"Iman itu ada
70 cabang, yang tertinggi ialah pernyataan la ilaha illallah, dan yang terendah
ialah menyingkirkan gangguan dari jalan." (Muttafaq ‘alaih: Bukhari, no. 9
dan Muslim, no. 35).
Kelima perkara ini adalah asas agama
Islam dan kaidah-kaidahnya di mana Islam dibangun dan berdiri di atasnya.
Beliau Sholallohu ‘alaihi wa sallam hanya menyebut lima perkara ini dan tidak menyebutkan jihad bersamanya,
padahal jihad membantu Islam dan menundukkan penentangan kaum kafir. Karena
lima perkara ini adalah kewajiban yang bersifat terus menerus, sedangkan jihad
termasuk fardhu kifayah, yang kadang kala gugur di suatu waktu.
Mengenai hadits di atas juga telah
diterangkan dalam hadits yang sangat mashur yang biasa dikenal sebagai hadits
Jibril. Diriwayatkan dari Umar Rodhiallohu anhu beliau berkata:
”Ketika
kami sedang duduk di sisi Rosululloh Sholallohualaihi wasallam pada suatu hari,
tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang memakai pakaian yang
sangat putih, berambut sangat hitam, yang tidak nampak pada dirinya kesan-kesan
tanda musafir dan tidak seorangpun di kalangan kami yang mengenalinya. Lalu dia
duduk menghampiri Rosululloh Sholallohualaihi wasallam lalu disandarkan kedua
lututnya ke lutut Rosululloh dan meletakkan dua telapak tangannya di atas dua
paha Rosululloh seraya berkata: “Wahai Muhammad, terangkan kepadaku
tentang lslam!”. Lalu Rosululloh Salallohualaihi wasallam bersabda: “lslam itu bahawa engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Alloh dan bahawa Muhammad itu utusan Alloh, engkau
mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan
haji ke Baitullah (Mekah) sekiranya engkau mampu mengerjakannya. “Lelaki tersebut berkata: “Benarlah engkau.” Maka kamipun merasa heran
kepadanya, dia yang bertanya dia pula yang membenarkannya. Dia bertanya: “Terangkan kepadaku tentang lman.”
Rosululloh Sholallohualaihi wasallam bersabda: “(lman itu ialah) bahawa engkau percaya kepada Alloh,
para MalaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari qiamat dan bahawa engkau
percaya kepada Qadar baik dan buruk.” Lelaki itu berkata: “Benarlah
engkau”. Dia berkata lagi: “Terangkanlah
kepadaku tentang Ihsan.” Rosululloh
Sholallohualaihi wasallam
bersabda: “Ihsan itu ialah bahawa engkau menyembah Alloh seolah-olah engkau
melihatNya. Sekiranya engkau tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” Lelaki itu
bertanya lagi: “Terangkan kepadaku
tentang Qiamat.” Rosululloh Salallohualaihi
wasallam bersabda: “Orang yang ditanya tentang Qiamat tidaklah
lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” Lelaki itu berkata: “Maka terangkanlah kepadaku tentang
tanda-tandanya.” Rosululloh Sholallohualaihi wasallam bersabda: “(Antara tandatandanya ialah)
apabila seorang hamba perempuan melahirkan tuannya dan apabila engkau melihat
orang-orang miskin yang berkaki ayam, tidak berpakaian dan apa adanya yang
hanya menjadi pengembala kambing berlomba-lomba membina bangunan (bertukar
menjadi kaya raya). Kemudian
lelaki itu berlalu, lalu aku terdiam sebentar. Kemudian Rosululloh Sholallohualaihi wasallam bertanya:
“Wahai Umar, adakah engkau tahu siapa
lelaki yang bertanya itu?” Aku berkata: “Alloh dan RasulNya lebih mengetahui.” Rosululloh Salallohualaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dia adalah Malaikat Jibril yang
datang kepada kalian untuk mengajar kalian tentang agama kalian” (HR
Muslim, no. 8).
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
Nabi Shollallohu
‘alaihi wasallam menjelaskan dalam hadits ini bahwa Islam itu berkedudukan
sebagai bangunan yang menaungi pemiliknya dan melin-dunginya dari dalam dan
dari luar. Nabi saw menjelaskan Islam itu dibangun berdasarkan lima perkara:
persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah. Pembicaraan tentang masing-masing dari
kelima rukun ini telah disebutkan terdahulu dalam ha-dits Umar bin al-Khaththab
sebelum ini, silakan merujuknya.
Jadi, hal ini
adalah yang seharusnya sering dinasehatkan oleh para pengurus Islam Jamaah/354 kepada ru’yahnya,
yaitu RUKUN ISLAM dan RUKUN IMAN, bukan 5 BAB. Bahkan, pengurus mengatakan
bahwa “nasehat tidak ada 5 BAB = koyah mentol (maaf) taek bonjrot”.
Na’udzubillahi min dzalik.
Tidak
sepantasnya pengurus Pusat Islam
Jamaah/354 membuat istilah sendiri, menyalahi kaidah-kaidah yang telah
diterangkan oleh Rosululloh dan Ulama Kibar mengenai pengertian kafir bahwa
orang luar (orang yang tidak baiat kepada Amir/Imam) adalah kafir. Hal ini
adalah pengertian bathil, tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan Sunnah.
Akibat dari kefahaman takfir ini (takfir = mengkafirkan orang Islam di luar
golongannya) adalah:
1.
Menganggap tidak sah solat di belakang “orang
luar”.
2.
Tidak mendatangi solat berjamaah di “Masjid luar”
(yang telah dikumandangkan adzan) padahal jarak rumah dengan masjid adalah
dekat.
3.
Tidak sah menikah dengan “orang luar”.
4.
Putus hubungan nasab dan waris apabila salah
satu anggota keluarganya keluar dari Islam
Jamaah/354 (kami punya banyak teman yang seperti ini, setelah keluar
dari jamaah ini kemudian tidak dianggap sebagai anak).
5. Dan
lain-lain.
Subhanalloh! Hal
ini adalah sebuah keburukan yang nyata yang harus ditinggalkan. Untuk
mengkafirkan orang Islam di luar golongannya, Jamaah menggunakan alasan lain,
diantaranya:
1.
Hadits: “… wawahidatun fiil jannah wahiyal
jamaah” (HR. Abu Daud).
Pembahasan:
Tidak semuanya
dari 72 golongan itu kafir, bahkan diantara mereka ada bermacam-macam, ada yang
kafir, ada yang bermaksiat dan ada yang berbuat bid’ah, tergantung tingkat
penyimpangannya dari golongan yang selamat. Ini sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Bin Baz rahimahullahu[1]
dalam “Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad Da'wah”. Jadi, diantara mereka yang 72
golongan itu ada yang kekal dalam neraka, ada yang hanya sebentar di neraka,
kemudian dikeluarkan karena Tauhidnya, ada yang sama sekali tidak disiksa,
karena pengampunan dan rahmat Allah Ta'ala.
Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya” (QS. An-Nissa 48).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata dalam Majmu' Al-Fatawa (7/218):
وَمَنْ
قَالَ : إنَّ الثِّنْتَيْنِ وَالسَّبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ
يَكْفُرُ كُفْرًا يَنْقُلُ عَنْ الْمِلَّةِ فَقَدْ خَالَفَ الْكِتَابَ
وَالسُّنَّةَ وَإِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ
بَلْ وَإِجْمَاعَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَغَيْرِ الْأَرْبَعَةِ فَلَيْسَ
فِيهِمْ مَنْ كَفَّرَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ الثِّنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
"Barang siapa yang
berkata, "Sesungguhnya 72 firqah; setiap salah satu dari mereka adalah
kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama", maka sungguh
ia telah menyelisihi Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’ para sahabat –ridhwanullahi
alaihim ajma’in-, bahkan ijma’ (kesepakatan) para imam yang empat dan selain
yang empat. Tak ada diantara mereka yang mengkafirkan setiap kelompok dari
72 kelompok ini".
2.
Hadits: “Man mata wa laisa fii unuqihi baiah mata
miitatan jahiliyyah”. “Barang siapa mati tanpa tali baiat pada lehernya maka
matinya mati jahiliyah”.
Pembahasan:
Islam Jamaah/354 keliru dalam
memahami hadits ini. Mati jahiliyah bukan mati kafir, akan tetapi mati seperti
matinya orang jahiliyah jaman dahulu yang tidak punya imam. Ketahuilah,
orang jahiliyah sebelum kedatangan Islam senang berpecah belah, tidak memiliki
pemimpin yang dipatuhi, dalilnya adalah:
واعتصموا
بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمة الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين
قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا…
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (yaitu jamaah),
dan janganlah kamu berfirqah-firqah, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…”
( QS. Ali Imron 103).
Setelah kedatangan Islam, mereka -para sahabat- menjadi
bersaudara, maka ketika muncul permusuhan dan perselisihan setelah Islam karena
fanatisme kelompok, maka mereka meniru keadaan dahulu yaitu masa jahiliyah.
Oleh sebab itu, tatkala kaum Muhajirin dan Anshor berselisih, seperti
dikisahkan oleh Jabir
bin Abdullah:
“Kami
berperang bersama Nabi dan sekelompok kaum Muhajirin berkumpul bersama beliau.
Di antara kaum Muhajirin ada seorang yang suka bercanda sehingga memukul pantat
orang Anshor. Maka sangat marahlah sahabat Anshor tersebut. Sehingga
masing-masing kubu saling berseru. Orang Anshor tersebut berkata: “Wahai orang-orang Anshor,” Orang
Muhajirin berkata: “Wahai orang-orang
Muhajirin”. Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang mendengar hal tersebut
keluar seraya berkata: “Ada apa dengan
seruan Jahiliyyah ini?” (HR. Bukhori : 3518, 4905, 4907).
Nabi
menyebut panggilan-panggilan itu sebagai seruan jahiliyah, sebab yang
dikehendaki dari panggilan itu oleh mereka adalah perpecahan. Padahal panggilan
‘Muhajirin dan Anshor’ jika dijadikan panggilan biasa bukan seruan jahiliyah,
bahkan Nabi sendiri sering memanggil dengan panggilan itu.
Tetapi orang-orang Islam yang berselisih, berperang dan
bermusuh-musuhan dalam satu urusan ini, tidak serta merta dikatakan kafir
seperti orang jahiliyah, bahkan Allah masih tetap memanggil mereka dengan
keimanan, dengan firman-Nya:
وإن
طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا
التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله
يحب المقسطين
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya
itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
(QS Al Hujarat 9).
Allah pada ayat ini masih memanggil dua golongan yang berselisih
itu dengan keimanan. Maka demikianlah bahwa yang dimaksud dengan hadits: siapa
yang tidak bai’at atau tidak punya imam jika mati, maka: مات ميتة جاهلية
Maksudnya, ‘Mati seperti matinya orang jahiliyah dahulu yang tidak punya imam,
bukan yang dimaksud mati dalam keadaan kafir”.
3.
Hadits: “Laa yahillu li tsalaatsatin …”.
ثنا حسن ثنا بن لهيعة قال ثنا عبد الله بن
هبيرة عن أبي سالم الجيشاني عن عبد الله بن عمرو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال : لا يحل ان ينكح المرأة بطلاق أخرى ولا يحل لرجل ان يبيع على بيع صاحبه حتى
يذره ولا يحل لثلاثة نفر يكونون بأرض فلاة الا أمروا عليهم أحدهم ولا يحل
لثلاثة نفر يكونون بأرض فلاة يتناجى اثنان دون صاحبهما . رواه أحمد
“Menceritakan kepada kami Hasan, menceritakan
kepada kami Ibn Lahi’ah, beliau berkata,
menceritakan kepada kami Abdullah ibn Hubairah dari Abi Salam al-Jaitsani dari
Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi
wasalam bersabda: “Tidak halal menikahi seorang perempuan dengan mencerai
perempuan yang lain, dan tidak halal bagi seorang laki-laki menjual atas
dagangan temannya sehingga temannya meninggalkan dagangan itu, dan tidak
halal bagi tiga orang yang berada di tanah padang tidak bertuan, kecuali mereka
mengangkat salah satunya jadi amir atas mereka, dan tidak halal bagi tiga
orang yang berada di suatu tempat, yang dua berbisik-bisik meninggalkan
temannya (yang satu diacuhkan)” (HR.
Ahmad dalam Musnad (2/176) no. 6647).
Pembahasan:
Hadits ini
dha’if, sebab ada perowi bernama Ibnu Lahi’ah.
Al-Imam Al-Muhadits Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Adh-Dhai’fah jilid 2 no.
589 juga mendha’ifkan hadits ini sebab adanya perowi bernama Ibn Lahi’ah.
Berkata Imam Tirmidzi dalam Sunan (1/16) no. 10,
setelah meriwayatkan salah satu hadits Ibn Lahi’ah:
وبن لهيعة
ضعيف عند أهل الحديث
“…dan Ibn Lahi’ah ini dha’if disisi
ahli hadits”.
Imam
Ad-Daruquthni dalam Sunan pada no. 250 setelah meriwayatkan hadits Ibn Lahi’ah
berkata:
ابن لهيعة لا يحتج بحديثه
“Ibn Lahi’ah tidak boleh berhujah dengan haditsnya”.
Pada no. 251, beliau berkata:
تفرد
به ابن لهيعة
وهو ضعيف الحديث
“Menyendiri dengan riwayat ini Ibn Lahi’ah dan dia ini
haditsnya dha’if”.
Oleh sebab itu,
Imam Ad-Daruquthni memasukan Ibn Lahi’ah dalam jajaran perawi dha’if
sebagaimana dalam kitabnya Adh-Dhu’afa no. 322.
Adz-Dzahabi dalam
Al-Mizan Juz 3 no. 4530 berkata:
عبدالله بن لهيعة بن عقبة الحضرمي ،
أبو عبد الرحمن قاضى مصر وعالمها…. قال ابن معين : ضعيف لا يحتج به
“Abdullah ibn
Lahi’ah ibn Uqbah Al-Khadrimi, Abu Abdurrahman, Qadhi Mesir dan ulamanya …
berkata Ibn Mu’in: “Dha’if tidak boleh berhujah dengannya”.
An-Nawawi, Tahdzib Al-Asma wal Lughoh (1/392) no. 328
berkata:
وقال ابن معين: ابن
لهيعة ضعيف الحديث. وقال عمرو بن على
الفلاس: احترقت كتب ابن لهيعة، ومن كتب عنه قبل ذلك كابن المبارك والمقرىء أصح ممن
كتب بعد ذلك. وقال ابن معين: هو ضعيف قبل الاحتراق وبعده، وضعفه الليث بن سعد،
ويحيى بن سعيد، والبخارى، والنسائى، وابن سعد، وآخرون. قال البيهقى: أجمع
أصحاب الحديث على ضعف ابن لهيعة، وترك الاحتجاج بما ينفرد به.
“Dan berkata Ibn
Mu’in : “Ibn Lahi’ah dha’iful hadits”. Dan berkata Amru ibn Ali Al-Falas: Kitab
Ibn Lahi’ah terbakar, dan barangsiapa menulis darinya sebelum demikian itu,
seperti Ibn Mubarak dan Al-Muqri maka shahih, dan barangsiapa setelah itu (maka
dha’if). Dan berkata Ibn Mu’in, “Dia dha’if baik sebelum kitabnya terbakar atau
setelahnya. Dan telah mendha’ifkannya Laits
ibn Sa’ad, Yahya ibn Sa’id, Bukhari, Nasai, Ibn Sa’ad dan selainnya. Berkata Baihaqi, “Ijma (kesepakatan) ahli hadits atas
kedha’ifan Ibn Lahi’ah, dan (mereka) meninggalkan berhujah dengannya dengan
apa-apa yang ia menyendiri dengan riwayatnya (tidak ada saksi)”.
Oleh sebagian
ahli hadits, dia diakui haditsnya ketika ia meriwayatkan dari kitabnya, tetapi
setelah kitab-kitabnya terbakar, maka bercampurlah hadits-haditsnya dan ahli
hadits berijma –sebagaimana dikatakan Al-Baihaqi- bahwa riwayatnya setelah
kejadian itu (yang menyendiri) dha’if.
Ada beberapa
orang yang diidentifikasi meriwayatkan darinya sebelum kitabnya terbakar,
yaitu: Abdullah ibn Mubarak, Abdullah ibn Wahab, Abdullah ibn Muqri dan
Qutaibah ibn Said. Maka riwayat orang-orang ini dari Ibn Lahi’ah shahih. Hadits
di atas, menurut sebagian ahli hadits bisa jadi terbolak balik oleh Ibn Lahi’ah
dari hadits yang lebih shahih dengan lafazh:
إذا خرج ثلاثة فى سفر فليؤمروا أحدهم
“Bila keluar tiga orang dalam perjalanan,
maka hendaklah mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin”.
Karena mengandalkan hafalannya, Ibnu
Lah’iah meriwayatkan hadits ini secara mungkar. Menyelisihi yang lebih terkenal
ini yakni dengan lafazh amar (perintah) bukan dengan lafazh : laa
yahillu. Dan di waktu safar bukan di tanah yang tidak bertuan seperti
diriwayatkannya. Lafazh yang benar ini derajatnya hasan, dikeluarkan dari
beberapa jalan, diantaranya adalah: Dari jalan Abu Said Al-Khudrii radhiyallahu’anhu,
yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (3/36) no. 2608, Abu Ya’la (2/319) no. 1054,
Baihaqi (5/257) no. 10131, Abu Awanah (4/514) no. 7538, Thabrani dalam
Al-Ausath (7/99) no. 8093 dan lain-lain. Di atas adalah lafazhnya.
Dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
dikeluarkan oleh Abu Dawud (3/36) no. 2609, Baihaqi (5/257) no. 10129 dan
lain-lain. Kemudian Imam Al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaid jilid 5 pada bab
yang berjudul: باب الأمير في السفر
menyebutkan beberapa jalan lain,
diantaranya: pada no. 9305 menyebutkannya dari jalan Umar ibn Khattab
radhiyallahu’anhu, Lalu beliau berkata, ‘Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan
rijalnya rijal shahih, selain Amar ibn Khalid dan dia tsiqat”. No. 9307, dari
Ibn Umar radhiyallahu’anhu, Lalu beliau berkata, ‘Dikeluarkan oleh Al-Bazzar
dan rijalnya rijalnya shahih, selain Abis ibn Marhum dia ini tsiqat”. No. 9308,
dari Abdullah (ibn Mas’ud radhiyallahu’anhu). Lalu Al-Haitsami berkata,
“Diriwayatkan oleh Thabrani, rijalnya rijal shahih”.
Biografi
Ibn Lahi’ah bisa dilihat di:
- Bukhari, Tarikh Al-Kabir (5/Biografi 574), Ash-Shaghir (2/207, 354) dan Dhu’afa Ash-Shaghir (No. 190).
- Nasai, Adh-Dhuafa (No. 346).
- Ibn Hiban, Al-Majruhin (1/76, 2/12-13).
- Al-Aqili, Ad-Dhu’afa (No. 110).
- Ibn Adi, Al-Kamil (3/118-120).
- Ibn Abi Hatim, Jarh Wa Ta’dil (5/145-148 No. 682).
- Al-Mizzi, Tahdzib Al-Kamal (15/487 No. 3513).
- Adz-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal (Jilid 2 No. 4530).
- Ibn Hajar, Tahdzib At-Tahdzib (5/327-331 No. 648).
- dan Lain-Lain.
Diskusi tentang hadits ini
Hadits ini andaipun shahih dan dibawa
kepada amir yang memiliki kekuasaan dan wilayah, sebagaimana lafazhnya :
بأرض فلاة
“…yang berada di tanah (padang)
tidak bertuan”.
Yaitu keamiran
berhubungan dengan ‘bumi’ (tanah) BUKAN tidak memiliki ‘bumi’ (keamiran bawah
tanah/keamiran bithonah).
Lafazhnya yaitu
:
ولا يحل
“.. dan tidak
halal…”.
Tidak bisa
dimaksudkan: ‘tidak halal hidupnya’ atau ‘tidak halal keislamannya’. Sebab
jika atsar di atas shahih, bagaimana dengan orang-orang yang hidup dimasa tidak
ada imam kaum muslimin?, seperti dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu’anhu.
فقلت:
"فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام؟".
قال: "فاعتزل تلك
الفرق كلها ولو أن تعض على أصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك".
“Hudzaifah bertanya: “Bagaimana jika tidak ada
jama'ah maupun imamnya?”. Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu,
walaupun dengan menggigit pokok pohon (ashlu syajarah) hingga maut menjemputmu
sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu".
Bahkan
sejak zaman Sahabat seperti yang terjadi pada Ibnu Umar radhiyallahu’anhu
berkali-kali ada kekosongan imam karena perselisihan dan lain sebagainya. Ketika
masa itu, Ibn Umar radhiyallahu’anhu dan lainnya tidak membai’at siapapun, dan
tidak ada anggapan dari sahabat lain bahwa selama itu hidup mereka tidak halal.
Sebagaimana
dikisahkan oleh Ibn Hajar rohimahullohu dalam Fathul Baari (20/242):
وكان عبد الله بن عمر في
تلك المدة امتنع ان يبايع لابن الزبير أو لعبد الملك كما كان امتنع ان يبايع لعلي
أو معاوية ثم بايع لمعاوية لما اصطلح مع الحسن بن علي واجتمع عليه الناس وبايع
لابنه يزيد بعد موت معاوية لاجتماع الناس عليه ثم امتنع من المبايعة لأحد حال الاختلاف
الى ان قتل بن الزبير وانتظم الملك كله لعبد الملك فبايع له حينئذ فهذا معنى قوله
لما اجتمع الناس على عبد الملك وأخرج يعقوب بن سفيان في تاريخه من طريق سعيد بن
حرب العبدي قال بعثوا الى بن عمر لما بويع بن الزبير فمد يده وهي ترعد فقال والله
ما كنت لأعطي بيعتي في فرقة ولا امنعها من جماعة
“Dan Abdullah ibnu Umar di masa itu menahan
diri untuk berbaiat kepada Ibnu`Zubair ataupun kepada Abdul Malik, sebagaimana
(dulu) beliau enggan berbaiat kepada Ali atau Muawiyah, kemudian beliau
berbaiat kepada Muawiyah (setelah Ali meninggal) ketika terjadi kesepakatan
bersama Hasan bin Ali dan manusia telah mufakat (ijtima’) atas Muawiyah, dan
berbaiatlah beliau kepada anaknya yaitu Yazid setelah matinya Muawiyah karena
kemufakatan manusia atasnya (Yazid). Kemudian beliau menahan diri dari
pembaiatan atas salah seorang (khalifah) ketika terjadi ikhtilaf (perselisihan
Ibnu Zubair dengan Marwan, kemudian Marwan meninggal dan digantikan Abdul
Malik) sampai terbunuhnya Ibnu Zubair (oleh Abdul Malik), dan para penguasa
(gubernur dan tokoh-tokoh) kesemuanya berketetapan (intadzom) kepada Abdul
Malik, maka berbaiatlah Ibnu Umar kepada Abdul Malik pada saat itu. Maka inilah
makna ucapan “ketika manusia berijtima’ atas Abdul Malik” dan Ya’qub bin Sufyan
mentakhrij di dalam tarikhnya dari jalur Said bin Harbin Al Abdiy, dia berkata
: “Mereka mengirim utusan kepada Ibnu Umar ketika Ibnu Zubair dibaiat, maka
Ibnu Umar mengulurkan dan menggoyangkan tangannya, lalu berkata : “Demi Allah,
aku tidak memberikan baiatku di dalam firqoh (perpecahan), dan aku tidak
menahan bai’atku dari jamaah (persatuan)….”
Beliau hanya
membai’at dan mengakui siapa yang berkuasa dan menang (diantara mereka yang
berselisih).
Demikian kalau hadits itu
shahih, kenyataannya tidak!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar