Kamis, 21 Agustus 2014

Hukum Mengkafirkan Orang Islam di Luar Jamaahnya



Salah satu paham resmi Islam Jamaah/354 adalah mengkafirkan orang Islam di luar Jamaahnya dengan beberapa alasan dengan menggunakan dalil. Apabila ditanya, mereka tidak akan pernah mengakui paham ini, atau mereka memang tidak sependapat dengan paham resmi ini. Mari kita kaji bersama kebenaran paham ini ditimbang dari dalil-dalil yang shohih.
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ p، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ a يَقُوْلُ: بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin al-Khaththab Rodhiallohu ‘anhu, ia mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wasallam bersabda, Islam dibangun diatas lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan" (HR. Bukhari dan Muslim).
Syarah hadits di atas dijelaskan oleh Imam Nawawi bahwa Rosululloh bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ.
"Islam dibangun berdasarkan lima perkara".
Maksud hadits di atas adalah siapa saja yang mengerjakan kelima rukun ini maka telah sempurna keislamannya. Sebagaimana halnya rumah menjadi sempurna dengan pilar-pilarnya, demikian pula Islam menjadi sempurna dengan rukun-rukunnya, yaitu lima perkara.
Sabda Beliau Sholallohu ‘alaihi wasallam, "Islam dibangun dengan lima perkara." Yakni, dengan lima perkara, karena 'ala dalam lafal tersebut bermakna bi (dengan). Berarti yang dibangun itu berbeda dengan pondasi bangunannya. Seandainya kita mengambil makna zhahirnya, niscaya kelima perkara tersebut di luar dari Islam. Sehingga pengertiannya menjadi rusak. Bisa juga 'ala bermakna min (dari), seperti firmanNya, "Kecuali atas istri-istri mereka." (Al-Mu'minun: 6). Yakni, dari istri-istri mereka. Lima perkara yang disebutkan dalam hadits adalah pokok-pokok bangunan. Adapun tambahan dan penyempurnaanya, seperti kawajiban-kewajiban lainnya dan amalan-amalan sunnah, maka itu adalah hiasan bangunan.
Disebutkan dalam hadits bahwa Beliau bersabda:
الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، أَعْلاَهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ –قال- وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ.
"Iman itu ada 70 cabang, yang tertinggi ialah pernyataan la ilaha illallah, dan yang terendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan." (Muttafaq ‘alaih: Bukhari, no. 9 dan Muslim, no. 35).

Kelima perkara ini adalah asas agama Islam dan kaidah-kaidahnya di mana Islam dibangun dan berdiri di atasnya. Beliau Sholallohu ‘alaihi wa sallam hanya menyebut lima perkara ini dan tidak menyebutkan jihad bersamanya, padahal jihad membantu Islam dan menundukkan penentangan kaum kafir. Karena lima perkara ini adalah kewajiban yang bersifat terus menerus, sedangkan jihad termasuk fardhu kifayah, yang kadang kala gugur di suatu waktu.
Mengenai hadits di atas juga telah diterangkan dalam hadits yang sangat mashur yang biasa dikenal sebagai hadits Jibril. Diriwayatkan dari Umar Rodhiallohu anhu beliau berkata:
”Ketika kami sedang duduk di sisi Rosululloh Sholallohualaihi wasallam pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang memakai pakaian yang sangat putih, berambut sangat hitam, yang tidak nampak pada dirinya kesan-kesan tanda musafir dan tidak seorangpun di kalangan kami yang mengenalinya. Lalu dia duduk menghampiri Rosululloh Sholallohualaihi wasallam lalu disandarkan kedua lututnya ke lutut Rosululloh dan meletakkan dua telapak tangannya di atas dua paha Rosululloh seraya berkata: “Wahai Muhammad, terangkan kepadaku tentang lslam!”. Lalu Rosululloh Salallohualaihi wasallam bersabda: “lslam itu bahawa engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Alloh dan bahawa Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan haji ke Baitullah (Mekah) sekiranya engkau mampu mengerjakannya. “Lelaki tersebut berkata: “Benarlah engkau.” Maka kamipun merasa heran kepadanya, dia yang bertanya dia pula yang membenarkannya. Dia bertanya: “Terangkan kepadaku tentang lman.” Rosululloh Sholallohualaihi wasallam bersabda: “(lman itu ialah) bahawa engkau percaya kepada Alloh, para MalaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari qiamat dan bahawa engkau percaya kepada Qadar baik dan buruk.” Lelaki itu berkata: “Benarlah engkau”. Dia berkata lagi: “Terangkanlah kepadaku tentang Ihsan.” Rosululloh Sholallohualaihi wasallam bersabda: “Ihsan itu ialah bahawa engkau menyembah Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Sekiranya engkau tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Lelaki itu bertanya lagi: “Terangkan kepadaku tentang Qiamat.” Rosululloh Salallohualaihi wasallam bersabda: “Orang yang ditanya tentang Qiamat tidaklah lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” Lelaki itu berkata: “Maka terangkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya.” Rosululloh Sholallohualaihi wasallam bersabda: “(Antara tandatandanya ialah) apabila seorang hamba perempuan melahirkan tuannya dan apabila engkau melihat orang-orang miskin yang berkaki ayam, tidak berpakaian dan apa adanya yang hanya menjadi pengembala kambing berlomba-lomba membina bangunan (bertukar menjadi kaya raya). Kemudian lelaki itu berlalu, lalu aku terdiam sebentar. Kemudian Rosululloh Sholallohualaihi wasallam bertanya: “Wahai Umar, adakah engkau tahu siapa lelaki yang bertanya itu?” Aku berkata: “Alloh dan RasulNya lebih mengetahui.” Rosululloh Salallohualaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dia adalah Malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajar kalian tentang agama kalian” (HR Muslim, no. 8).
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: 
Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam hadits ini bahwa Islam itu berkedudukan sebagai bangunan yang menaungi pemiliknya dan melin-dunginya dari dalam dan dari luar. Nabi saw menjelaskan Islam itu dibangun berdasarkan lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah. Pembicaraan tentang masing-masing dari kelima rukun ini telah disebutkan terdahulu dalam ha-dits Umar bin al-Khaththab sebelum ini, silakan merujuknya.
Jadi, hal ini adalah yang seharusnya sering dinasehatkan oleh para pengurus Islam Jamaah/354 kepada ru’yahnya, yaitu RUKUN ISLAM dan RUKUN IMAN, bukan 5 BAB. Bahkan, pengurus mengatakan bahwa “nasehat tidak ada 5 BAB = koyah mentol (maaf) taek bonjrot”. Na’udzubillahi min dzalik.
Tidak sepantasnya pengurus Pusat Islam Jamaah/354 membuat istilah sendiri, menyalahi kaidah-kaidah yang telah diterangkan oleh Rosululloh dan Ulama Kibar mengenai pengertian kafir bahwa orang luar (orang yang tidak baiat kepada Amir/Imam) adalah kafir. Hal ini adalah pengertian bathil, tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan Sunnah. Akibat dari kefahaman takfir ini (takfir = mengkafirkan orang Islam di luar golongannya) adalah:
1.      Menganggap tidak sah solat di belakang “orang luar”.
2.      Tidak mendatangi solat berjamaah di “Masjid luar” (yang telah dikumandangkan adzan) padahal jarak rumah dengan masjid adalah dekat.
3.      Tidak sah menikah dengan “orang luar”.
4.      Putus hubungan nasab dan waris apabila salah satu anggota keluarganya keluar dari Islam Jamaah/354 (kami punya banyak teman yang seperti ini, setelah keluar dari jamaah ini kemudian tidak dianggap sebagai anak).
5.      Dan lain-lain.
Subhanalloh! Hal ini adalah sebuah keburukan yang nyata yang harus ditinggalkan. Untuk mengkafirkan orang Islam di luar golongannya, Jamaah menggunakan alasan lain, diantaranya:
1.      Hadits: “… wawahidatun fiil jannah wahiyal jamaah” (HR. Abu Daud).
Pembahasan:
Tidak semuanya dari 72 golongan itu kafir, bahkan diantara mereka ada bermacam-macam, ada yang kafir, ada yang bermaksiat dan ada yang berbuat bid’ah, tergantung tingkat penyimpangannya dari golongan yang selamat. Ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullahu[1] dalam “Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad Da'wah”. Jadi, diantara mereka yang 72 golongan itu ada yang kekal dalam neraka, ada yang hanya sebentar di neraka, kemudian dikeluarkan karena Tauhidnya, ada yang sama sekali tidak disiksa, karena pengampunan dan rahmat Allah Ta'ala.
Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An-Nissa 48).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata dalam Majmu' Al-Fatawa (7/218):
وَمَنْ قَالَ : إنَّ الثِّنْتَيْنِ وَالسَّبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكْفُرُ كُفْرًا يَنْقُلُ عَنْ الْمِلَّةِ فَقَدْ خَالَفَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَإِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ بَلْ وَإِجْمَاعَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَغَيْرِ الْأَرْبَعَةِ فَلَيْسَ فِيهِمْ مَنْ كَفَّرَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ الثِّنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
"Barang siapa yang berkata, "Sesungguhnya 72 firqah; setiap salah satu dari mereka adalah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama", maka sungguh ia telah menyelisihi Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’ para sahabat –ridhwanullahi alaihim ajma’in-, bahkan ijma’ (kesepakatan) para imam yang empat dan selain yang empat. Tak ada diantara mereka yang mengkafirkan setiap kelompok dari 72 kelompok ini".

2.      Hadits: “Man mata wa laisa fii unuqihi baiah mata miitatan jahiliyyah”. “Barang siapa mati tanpa tali baiat pada lehernya maka matinya mati jahiliyah”.
Pembahasan:
Islam Jamaah/354 keliru dalam memahami hadits ini. Mati jahiliyah bukan mati kafir, akan tetapi mati seperti matinya orang jahiliyah jaman dahulu yang tidak punya imam. Ketahuilah, orang jahiliyah sebelum kedatangan Islam senang berpecah belah, tidak memiliki pemimpin yang dipatuhi, dalilnya adalah:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمة الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (yaitu jamaah), dan janganlah kamu berfirqah-firqah, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…” ( QS. Ali Imron 103).
Setelah kedatangan Islam, mereka -para sahabat- menjadi bersaudara, maka ketika muncul permusuhan dan perselisihan setelah Islam karena fanatisme kelompok, maka mereka meniru keadaan dahulu yaitu masa jahiliyah. Oleh sebab itu, tatkala kaum Muhajirin dan Anshor berselisih, seperti dikisahkan oleh Jabir bin Abdullah:
“Kami berperang bersama Nabi dan sekelompok kaum Muhajirin berkumpul bersama beliau. Di antara kaum Muhajirin ada seorang yang suka bercanda sehingga memukul pantat orang Anshor. Maka sangat marahlah sahabat Anshor tersebut. Sehingga masing-masing kubu saling berseru. Orang Anshor tersebut berkata: “Wahai orang-orang Anshor,” Orang Muhajirin berkata: “Wahai orang-orang Muhajirin”. Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang mendengar hal tersebut keluar seraya berkata: “Ada apa dengan seruan Jahiliyyah ini?” (HR. Bukhori : 3518, 4905, 4907).
Nabi menyebut panggilan-panggilan itu sebagai seruan jahiliyah, sebab yang dikehendaki dari panggilan itu oleh mereka adalah perpecahan. Padahal panggilan ‘Muhajirin dan Anshor’ jika dijadikan panggilan biasa bukan seruan jahiliyah, bahkan Nabi sendiri sering memanggil dengan panggilan itu.
Tetapi orang-orang Islam yang berselisih, berperang dan bermusuh-musuhan dalam satu urusan ini, tidak serta merta dikatakan kafir seperti orang jahiliyah, bahkan Allah masih tetap memanggil mereka dengan keimanan, dengan firman-Nya: 
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS Al Hujarat 9).
Allah pada ayat ini masih memanggil dua golongan yang berselisih itu dengan keimanan. Maka demikianlah bahwa yang dimaksud dengan hadits: siapa yang tidak bai’at atau tidak punya imam jika mati, maka: مات ميتة جاهلية Maksudnya, ‘Mati seperti matinya orang jahiliyah dahulu yang tidak punya imam, bukan yang dimaksud mati dalam keadaan kafir”.
3.      Hadits: “Laa yahillu li tsalaatsatin …”.
ثنا حسن ثنا بن لهيعة قال ثنا عبد الله بن هبيرة عن أبي سالم الجيشاني عن عبد الله بن عمرو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا يحل ان ينكح المرأة بطلاق أخرى ولا يحل لرجل ان يبيع على بيع صاحبه حتى يذره ولا يحل لثلاثة نفر يكونون بأرض فلاة الا أمروا عليهم أحدهم ولا يحل لثلاثة نفر يكونون بأرض فلاة يتناجى اثنان دون صاحبهما . رواه أحمد
“Menceritakan kepada kami Hasan, menceritakan kepada kami Ibn Lahi’ah, beliau berkata, menceritakan kepada kami Abdullah ibn Hubairah dari Abi Salam al-Jaitsani dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda: “Tidak halal menikahi seorang perempuan dengan mencerai perempuan yang lain, dan tidak halal bagi seorang laki-laki menjual atas dagangan temannya sehingga temannya meninggalkan dagangan itu, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah padang tidak bertuan, kecuali mereka mengangkat salah satunya jadi amir atas mereka, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu tempat, yang dua berbisik-bisik meninggalkan temannya (yang satu diacuhkan)” (HR.  Ahmad dalam Musnad (2/176) no. 6647).
Pembahasan:
Hadits ini dha’if, sebab ada perowi bernama Ibnu Lahi’ah. Al-Imam Al-Muhadits Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Adh-Dhai’fah jilid 2 no. 589 juga mendha’ifkan hadits ini sebab adanya perowi bernama Ibn Lahi’ah. Berkata Imam Tirmidzi dalam Sunan (1/16) no. 10, setelah meriwayatkan salah satu hadits Ibn Lahi’ah:
وبن لهيعة ضعيف عند أهل الحديث
“…dan Ibn Lahi’ah ini dha’if disisi ahli hadits”.
Imam Ad-Daruquthni dalam Sunan pada no. 250 setelah meriwayatkan hadits Ibn Lahi’ah berkata:
ابن لهيعة لا يحتج بحديثه
“Ibn Lahi’ah tidak boleh berhujah dengan haditsnya”.

Pada no. 251, beliau berkata:
تفرد به ابن لهيعة وهو ضعيف الحديث
“Menyendiri dengan riwayat ini Ibn Lahi’ah dan dia ini haditsnya dha’if”.
Oleh sebab itu, Imam Ad-Daruquthni memasukan Ibn Lahi’ah dalam jajaran perawi dha’if sebagaimana dalam kitabnya Adh-Dhu’afa no. 322.
Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan Juz 3 no. 4530 berkata:
عبدالله بن لهيعة بن عقبة الحضرمي ، أبو عبد الرحمن قاضى مصر وعالمها. قال ابن معين : ضعيف لا يحتج به
“Abdullah ibn Lahi’ah ibn Uqbah Al-Khadrimi, Abu Abdurrahman, Qadhi Mesir dan ulamanya … berkata Ibn Mu’in: “Dha’if tidak boleh berhujah dengannya”.
An-Nawawi, Tahdzib Al-Asma wal Lughoh (1/392) no. 328 berkata:
وقال ابن معين: ابن لهيعة ضعيف الحديث. وقال عمرو بن على الفلاس: احترقت كتب ابن لهيعة، ومن كتب عنه قبل ذلك كابن المبارك والمقرىء أصح ممن كتب بعد ذلك. وقال ابن معين: هو ضعيف قبل الاحتراق وبعده، وضعفه الليث بن سعد، ويحيى بن سعيد، والبخارى، والنسائى، وابن سعد، وآخرون. قال البيهقى: أجمع أصحاب الحديث على ضعف ابن لهيعة، وترك الاحتجاج بما ينفرد به.
“Dan berkata Ibn Mu’in : “Ibn Lahi’ah dha’iful hadits”. Dan berkata Amru ibn Ali Al-Falas: Kitab Ibn Lahi’ah terbakar, dan barangsiapa menulis darinya sebelum demikian itu, seperti Ibn Mubarak dan Al-Muqri maka shahih, dan barangsiapa setelah itu (maka dha’if). Dan berkata Ibn Mu’in, “Dia dha’if baik sebelum kitabnya terbakar atau setelahnya. Dan telah mendha’ifkannya Laits ibn Sa’ad, Yahya ibn Sa’id, Bukhari, Nasai, Ibn Sa’ad dan selainnya. Berkata Baihaqi, “Ijma (kesepakatan) ahli hadits atas kedha’ifan Ibn Lahi’ah, dan (mereka) meninggalkan berhujah dengannya dengan apa-apa yang ia menyendiri dengan riwayatnya (tidak ada saksi)”.
Oleh sebagian ahli hadits, dia diakui haditsnya ketika ia meriwayatkan dari kitabnya, tetapi setelah kitab-kitabnya terbakar, maka bercampurlah hadits-haditsnya dan ahli hadits berijma –sebagaimana dikatakan Al-Baihaqi- bahwa riwayatnya setelah kejadian itu (yang menyendiri) dha’if.
Ada beberapa orang yang diidentifikasi meriwayatkan darinya sebelum kitabnya terbakar, yaitu: Abdullah ibn Mubarak, Abdullah ibn Wahab, Abdullah ibn Muqri dan Qutaibah ibn Said. Maka riwayat orang-orang ini dari Ibn Lahi’ah shahih. Hadits di atas, menurut sebagian ahli hadits bisa jadi terbolak balik oleh Ibn Lahi’ah dari hadits yang lebih shahih dengan lafazh:
إذا خرج ثلاثة فى سفر فليؤمروا أحدهم
“Bila keluar tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin”.
Karena mengandalkan hafalannya, Ibnu Lah’iah meriwayatkan hadits ini secara mungkar. Menyelisihi yang lebih terkenal ini yakni dengan lafazh amar (perintah) bukan dengan lafazh : laa yahillu. Dan di waktu safar bukan di tanah yang tidak bertuan seperti diriwayatkannya. Lafazh yang benar ini derajatnya hasan, dikeluarkan dari beberapa jalan, diantaranya adalah: Dari jalan Abu Said Al-Khudrii radhiyallahu’anhu, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (3/36) no. 2608, Abu Ya’la (2/319) no. 1054, Baihaqi (5/257) no. 10131, Abu Awanah (4/514) no. 7538, Thabrani dalam Al-Ausath (7/99) no. 8093 dan lain-lain. Di atas adalah lafazhnya.
Dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dikeluarkan oleh Abu Dawud (3/36) no. 2609, Baihaqi (5/257) no. 10129 dan lain-lain. Kemudian Imam Al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaid jilid 5 pada bab yang berjudul: باب الأمير في السفر
menyebutkan beberapa jalan lain, diantaranya: pada no. 9305 menyebutkannya dari jalan Umar ibn Khattab radhiyallahu’anhu, Lalu beliau berkata, ‘Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan rijalnya rijal shahih, selain Amar ibn Khalid dan dia tsiqat”. No. 9307, dari Ibn Umar radhiyallahu’anhu, Lalu beliau berkata, ‘Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan rijalnya rijalnya shahih, selain Abis ibn Marhum dia ini tsiqat”. No. 9308, dari Abdullah (ibn Mas’ud radhiyallahu’anhu). Lalu Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani, rijalnya rijal shahih”.
Biografi Ibn Lahi’ah bisa dilihat di:
  1. Bukhari, Tarikh Al-Kabir (5/Biografi 574), Ash-Shaghir (2/207, 354) dan Dhu’afa Ash-Shaghir (No. 190).  
  2. Nasai, Adh-Dhuafa (No. 346).
  3. Ibn Hiban, Al-Majruhin (1/76, 2/12-13).
  4. Al-Aqili, Ad-Dhu’afa (No. 110).
  5. Ibn Adi, Al-Kamil (3/118-120).
  6. Ibn Abi Hatim, Jarh Wa Ta’dil (5/145-148 No. 682).
  7. Al-Mizzi, Tahdzib Al-Kamal (15/487 No. 3513).
  8. Adz-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal (Jilid 2 No. 4530).
  9. Ibn Hajar, Tahdzib At-Tahdzib (5/327-331 No. 648).
  10. dan Lain-Lain.
Diskusi tentang hadits ini
Hadits ini andaipun shahih dan dibawa kepada amir yang memiliki kekuasaan dan wilayah, sebagaimana lafazhnya :
بأرض فلاة
“…yang berada di tanah (padang) tidak bertuan”.
Yaitu keamiran berhubungan dengan ‘bumi’ (tanah) BUKAN tidak memiliki ‘bumi’ (keamiran bawah tanah/keamiran bithonah).
Lafazhnya yaitu :
ولا يحل
“.. dan tidak halal…”.
Tidak bisa dimaksudkan: ‘tidak halal hidupnya’ atau ‘tidak halal keislamannya’. Sebab jika atsar di atas shahih, bagaimana dengan orang-orang yang hidup dimasa tidak ada imam kaum muslimin?, seperti dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu’anhu.
فقلت: "فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام؟".
قال: "فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض على أصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك".
“Hudzaifah bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama'ah maupun imamnya?”. Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon (ashlu syajarah) hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu".
Bahkan sejak zaman Sahabat seperti yang terjadi pada Ibnu Umar radhiyallahu’anhu berkali-kali ada kekosongan imam karena perselisihan dan lain sebagainya. Ketika masa itu, Ibn Umar radhiyallahu’anhu dan lainnya tidak membai’at siapapun, dan tidak ada anggapan dari sahabat lain bahwa selama itu hidup mereka tidak halal.
Sebagaimana dikisahkan oleh Ibn Hajar rohimahullohu dalam Fathul Baari (20/242):
وكان عبد الله بن عمر في تلك المدة امتنع ان يبايع لابن الزبير أو لعبد الملك كما كان امتنع ان يبايع لعلي أو معاوية ثم بايع لمعاوية لما اصطلح مع الحسن بن علي واجتمع عليه الناس وبايع لابنه يزيد بعد موت معاوية لاجتماع الناس عليه ثم امتنع من المبايعة لأحد حال الاختلاف الى ان قتل بن الزبير وانتظم الملك كله لعبد الملك فبايع له حينئذ فهذا معنى قوله لما اجتمع الناس على عبد الملك وأخرج يعقوب بن سفيان في تاريخه من طريق سعيد بن حرب العبدي قال بعثوا الى بن عمر لما بويع بن الزبير فمد يده وهي ترعد فقال والله ما كنت لأعطي بيعتي في فرقة ولا امنعها من جماعة
“Dan Abdullah ibnu Umar di masa itu menahan diri untuk berbaiat kepada Ibnu`Zubair ataupun kepada Abdul Malik, sebagaimana (dulu) beliau enggan berbaiat kepada Ali atau Muawiyah, kemudian beliau berbaiat kepada Muawiyah (setelah Ali meninggal) ketika terjadi kesepakatan bersama Hasan bin Ali dan manusia telah mufakat (ijtima’) atas Muawiyah, dan berbaiatlah beliau kepada anaknya yaitu Yazid setelah matinya Muawiyah karena kemufakatan manusia atasnya (Yazid). Kemudian beliau menahan diri dari pembaiatan atas salah seorang (khalifah) ketika terjadi ikhtilaf (perselisihan Ibnu Zubair dengan Marwan, kemudian Marwan meninggal dan digantikan Abdul Malik) sampai terbunuhnya Ibnu Zubair (oleh Abdul Malik), dan para penguasa (gubernur dan tokoh-tokoh) kesemuanya berketetapan (intadzom) kepada Abdul Malik, maka berbaiatlah Ibnu Umar kepada Abdul Malik pada saat itu. Maka inilah makna ucapan “ketika manusia berijtima’ atas Abdul Malik” dan Ya’qub bin Sufyan mentakhrij di dalam tarikhnya dari jalur Said bin Harbin Al Abdiy, dia berkata : “Mereka mengirim utusan kepada Ibnu Umar ketika Ibnu Zubair dibaiat, maka Ibnu Umar mengulurkan dan menggoyangkan tangannya, lalu berkata : “Demi Allah, aku tidak memberikan baiatku di dalam firqoh (perpecahan), dan aku tidak menahan bai’atku dari jamaah (persatuan)….”
Beliau hanya membai’at dan mengakui siapa yang berkuasa dan menang (diantara mereka yang berselisih).
Demikian kalau hadits itu shahih, kenyataannya tidak!!!


[1] Ketua Lajnah Daimah Lil bughuts ilmiyyah wal ifta’ (di Indonesia semacam MUI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar